Apabila telah dibuat dan ditandatangani perjanjian perkawinan pisah harta (sebelum perkawinan) pada tahun 2017, namun baru dicatatkan ke Dispendukcapil pada tahun 2021, jika kemudian membeli fixed asset pada tahun 2020, apakah sudah termasuk harta pribadi masing-masing?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Perjanjian perkawinan adalah perjanjian tertulis yang dibuat sebelum, pada waktu atau selama dalam ikatan perkawinan dan mengikat kedua mempelai maupun pihak ketiga yang tersangkut dan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris.
Suatu perjanjian perkawinan mengikat kedua belah pihak sejak perkawinan dilangsungkan (kecuali ditentukan lain) serta mengikat pihak ketiga setelah dicatatkan ke Pegawai Pencatat Perkawinan atau Disdukcapil. Lantas, bagaimana status aset/harta yang dibeli setelah perjanjian perkawinan dibuat namun belum dicatatkan?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Apa itu Perjanjian Perkawinan?
Sebelum membahas mengenai dasar hukum perjanjian perkawinan, terlebih dahulu perlu kami jelaskan mengenai harta dalam perkawinan. Ketentuan mengenai harta dalam perkawinan dapat ditemukan dalam Pasal 119 KUH Perdata yang berbunyi:
Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh diadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri.
Selain itu, dalam Pasal 35 UU Perkawinan, diatur bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sementara, harta bawaan masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Berdasarkan Pasal 119 KUH Perdata dan Pasal 35 UU Perkawinan tersebut, pada prinsipnya perkawinan mengakibatkan terjadinya persatuan harta suami istri. Namun, dalam KUH Perdata, penyimpangan terhadap prinsip persatuan harta dimungkinkan dalam ketentuan Pasal 139 KUH Perdata yang isinya memberi kesempatan untuk suami dan istri untuk membuat perjanjian kawin yang isinya mengatur tersendiri harta kekayaan sepanjang tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum.
Lebih lanjut, dalam Pasal 29 ayat (2) UU Perkawinan ditentukan bahwa perjanjian perkawinan dilarang melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.
Sementara, terkait dengan perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 29 ayat (1), (3) dan (4) UU Perkawinan jo. Putusan MK 69/2015 (hal. 156 – 157) sebagai berikut.
Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian perkawinan adalah perjanjian tertulis yang dibuat sebelum, pada waktu atau selama dalam ikatan perkawinan dan mengikat kedua mempelai maupun pihak ketiga yang tersangkut dan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris.
Lantas, apa isi perjanjian perkawinan? Yaitu mengenai masalah harta kekayaan antara suami istri yang meliputi apa yang menjadi milik suami atau istri dan apa saja yang menjadi tanggung jawab suami atau istri, ataupun berkaitan dengan harta bawaan masing-masing pihak. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan perjanjian kawin juga mengatur mengenai hal-hal lainnya di luar harta perkawinan. Perjanjian perkawinan dibuat bertujuan untuk melindungi hak dan kewajiban suami istri setelah menikah.[1]
Untuk membuat perjanjian perkawinan, terdapat syarat perjanjian perkawinan yang harus tetap tunduk dan memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yaitu:
Kesepakatan para Pihak;
Cakap;
Suatu hal tertentu;
Kausa yang diperbolehkan dalam arti suatu hal yang halal untuk diperjanjikan.
Selain memenuhi syarat dalam Pasal 1320 KUH Perdata, haruskah perjanjian kawin dicatatkan? Pasal 29 Perkawinan jo. Putusan MK 69/2015 menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan wajib disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yaitu di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama bagi pasangan yang beragama Islam atau notaris.
Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 78 ayat (1) Perpres 96/2018 bahwa perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum, pada saat, atau selama perkawinan termasuk perubahan dan pencabutannya dapat dicatatkan pada Disdukcapil Kabupaten/Kota atau UPT Disdukcapil Kabupaten/Kota dengan melampirkan akta perjanjian perkawinan.
Pencatatan perjanjian perkawinan itu dilakukan demi memenuhi unsur publisitas dan untuk mengikat pihak ketiga. Asas publisitas berarti kewajiban untuk memberitahukan informasi kepada publik agar masyarakat, siapapun dapat mengetahuinya. Untuk dapat memenuhi asas publisitas tersebut, asal suatu informasi dapat diakses semua orang, dan bukan bersifat pribadi.[2]
Selain itu, perlu dicatat bahwa menurut Pasal 147 ayat (1) KUH Perdata perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris. Dasar kewenangan notaris dalam menjalankan tugas dan jabatanya sebagai notaris untuk membuat akta autentik[3] dalam hal ini akta perjanjian perkawinan diatur di dalam UU Jabatan Notaris dan perubahannya.
Status Aset yang Dibeli Sebelum Perjanjian Perkawinan Dicatatkan
Terkait dengan fixed asset yang Anda maksud, istilah ini biasanya digunakan untuk lingkup perusahaan. Fixed assets atau aset tetap adalah aset-aset yang berwujud yang sifatnya relatif permanen yang digunakan dalam kegiatan perusahaan yang normal. Misalnya tanah, bangunan, dan lain-lain.[4] Dengan demikian, yang Anda maksud fixed asset kami asumsikan sebagai tanah, bangunan, atau bentuk lainnya yang dibeli oleh suami/istri selama perkawinan.
Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami asumsikan bahwa perjanjian perkawinan tersebut sudah disahkan oleh notaris namun belum dicatatkan. Terkait dengan status kepemilikan fixed asset, jika perjanjian perkawinan berupa pisah harta telah dibuat sebelum perkawinan pada tahun 2017 dan kami asumsikan bahwa perkawinan juga dilangsungkan tahun 2017, kemudian baru dicatatkan ke Disdukcapil pada tahun 2021, sedangkan pada tahun 2020 ada pembelian fixed asset, maka harus dilihat terlebih dahulu jenis perjanjian perkawinannya.
Perlu diketahui bahwa terdapat 3 jenis perjanjian perkawinan yaitu:[5]
percampuran laba dan rugi yaitu seluruh pendapat yang diterima suami istri secara cuma-cuma (hibah atau warisan) dan penghasilan yang mereka terima akan menjadi milik bersama termasuk juga semua kerugian atau pengeluaran menjadi tanggung jawab bersama;
percampuran penghasilan yaitu penghasilan yang diterima oleh masing-masing pihak menjadi harta bersama tetapi kerugian yang diperoleh ditanggung oleh masing-masing pihak;
pemisahan harta secara bulat (keseluruhan) yaitu pemisahan seluruh harta, baik harta sebelum maupun sepanjang perkawinan berlangsung menjadi hak masing-masing. Selain itu, suami istri bisa melakukan perbuatan hukum sendiri atas hartanya.
Misalnya dalam perjanjian perkawinan yang Anda buat bersama pasangan adalah berupa pemisahan harta secara bulat, maka fixed asset yang dibeli selama perkawinan, menjadi harta pribadi dari suami/istri.
Pada prinsipnya, menurut Pasal 29 UU UU Perkawinan jo. Putusan MK 69/2015, perjanjian perkawinan yang dibuat oleh suami istri mulai berlaku sejak pasangan suami istri tersebut melangsungkan perkawinan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Dengan demikian, perjanjian perkawinan tersebut sudah mulai berlaku dan mengikat pasangan suami istri sejak tahun 2017 ketika perkawinan dilangsungkan.
Sementara, perjanjian perkawinan tersebut baru mengikat pihak ketiga setelah dicatatkan atau didaftarkan[6] ke Disdukcapil yaitu pada tahun 2021.
Jadi, meskipun baru dicatatkan ke Disdukcapil pada tahun 2021, pembelian fixed asset pada tahun 2020 tersebut termasuk harta pribadi suami/istri meskipun pembeliannya dilakukan setelah perkawinan, dengan catatan bahwa di dalam perjanjian perkawinan tersebut tidak ditentukan lain atau tidak ditentukan secara khusus mengenai kepemilikan fixed asset yang diperoleh setelah perkawinan.
Dewi Puspita Sari dan Aliah Pratiwi. Analisis Fixed Asset Ratio pada PT Air Asia Indonesia Tbk. Coopetition: Jurnal Ilmiah Manajemen, Vol. XI, No. 1 Maret 2020;
Moch. Isnaeni. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2016;
Gusti Muhammad Faruq Abdul Hakim Sutikno dan Hudi Asrori. Kekuatan Hukum Pencatatan Perjanjian Perkawinan Bagi Para Pihak (Studi Kasus di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta). Jurnal Privat Law Vol. VI, No. 2 Juli-Desember 2018;
Yudiana Dewi Prihandini. Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Ketiga atas Perjanjian Perkawinan yang Dibuat Setelah Perkawinan. Lex Renaissance, Vol. 4, No. 2, Juli 2019.
[1] Moch Isnaeni, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2016, hal. 86
[2] Gusti Muhammad Faruq Abdul Hakim Sutikno dan Hudi Asrori, Kekuatan Hukum Pencatatan Perjanjian Perkawinan Bagi Para Pihak (Studi Kasus di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta), Jurnal Privat Law Vol. VI No 2 Juli-Desember 2018, hal. 207
[4] Dewi Puspita Sari dan Aliah Pratiwi, Analisis Fixed Asset Ratio pada PT Air Asia Indonesia Tbk., Coopetition: Jurnal Ilmiah Manajemen, Vol. XI, No. 1 Maret 2020, hal. 70
[5] Yudiana Dewi Prihandini, Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Ketiga atas Perjanjian Perkawinan yang Dibuat Setelah Perkawinan, Lex Renaissance, Vol. 4, No. 2, Juli 2019, hal. 359.
[6] Yudiana Dewi Prihandini, Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Ketiga atas Perjanjian Perkawinan yang Dibuat Setelah Perkawinan, Lex Renaissance, Vol. 4, No. 2, Juli 2019, hal. 364