Apakah kita sebagai produsen produk dapat menuntut secara hukum kepada para reseller nakal yang menjual harga produk kita di bawah harga yang sudah kita tetapkan? Lalu bagaimana langkah-langkahnya? Karena hal tersebut telah meresahkan dan merugikan agen-agen dan distributor-distributor.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Penetapan harga jual kembali dikenal dengan istilah resale price maintenance (RPM), yang terdiri dari maximum RPM, manakala produsen menetapkan harga jual tertinggi untuk suatu produk, dan minimum RPM, manakala produsen menetapkan harga jual terendah untuk suatu produk. Dalam ketentuan Pasal 8 UU 5/1999, RPM yang dilarang untuk dilakukan atau yang melanggar aturan hukum adalah minimum RPM.
Di sisi lain, penetapan harga barang di bawah harga pasar oleh reseller juga berpotensi melanggar ketentuan lain dalam hukum persaingan usaha, dan apabila terbukti dapat dilaporkan ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Aturan Harga Reseller dalam Hukum Persaingan Usaha
Produsen suatu produk, pada umumnya memberikan ketentuan bagi para distributor atau reseller-nya terkait dengan harga penjualan kembali. Apabila ada reseller yang tidak mengikuti ketentuan terkait dengan harga yang telah ditetapkan oleh produsen, memang hal ini akan berdampak pada reseller lain yang mengikuti ketentuan penetapan harga dari produsen yang berada di pasar yang sama.
Untuk menjawab pertanyaan apakah tindakan reseller yang menjual produk di bawah harga yang ditentukan oleh produsen dapat dituntut secara hukum, perlu dipahami terlebih dahulu bahwa perihal tersebut masuk dalam ranah kajian hukum persaingan usaha.
Aturan hukum yang akan digunakan dalam mengupas kasus tersebut menggunakan UU 5/1999. Sebelum menentukan pasal yang dapat dikenakan terhadap para reseller tersebut, perlu dipahami terlebih dahulu terkait penetapan harga jual kembali atau yang dikenal dengan istilah resale price maintenance (RPM). Secara umum RPM terbagi menjadi 2, maximum dan minimum RPM. Maximum RPM adalah manakala produsen menetapkan harga jual tertinggi untuk suatu produk. Sedangkan dalam minimum RPM, sebaliknya, produsen menetapkan harga jual terendah untuk suatu produk.
Dalam ketentuan Pasal 8 UU 5/1999, RPM yang dilarang untuk dilakukan atau yang melanggar aturan hukum adalah minimum RPM. Pasal 8 UU 5/1999 mengatur mengenai larangan membuat perjanjian yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa (dalam hal ini reseller) tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan (penetapan minimum harga jual kembali) sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat (vide Peraturan KPPU 8/2011Â yang mengatur pedoman Pasal 8 UU 5/1999).
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Dengan demikian, apabila produsen menentukan maksimum RPM, sudah seharusnya para reseller mengikuti kesepakatan yang sudah disepakati dengan produsen. Apabila tidak mengikuti kesepakatan tersebut, maka reseller dapat digugat wanprestasi apabila memang dapat dibuktikan tindakan reseller tersebut memang ingkar janji dan mengakibatkan kerugian atas tindakannya tersebut, sesuai ketentuan Pasal 1243 KUH Perdata.
Namun, apabila RPM yang ditetapkan oleh produsen adalah minimum RPM, maka yang melakukan pelanggaran hukum adalah pihak produsen, yaitu melanggar pasal 8 UU 5/1999. Para produsen yang demikian dapat dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai ketentuan Pasal 118 angka 3 UU Cipta Kerja yang mengubahPasal 47 UU 5/1999 jo. Pasal 4 ayat (2) PP 44/2021.
Jika Reseller Menjual Barang di Bawah Harga Pasar
Selain pasal terkait dengan RPM, terhadap persoalan reseller nakal ini perlu juga mengkaji pasal-pasal yang mengatur tentang praktek predatory pricing, yaitu larangan bagi pelaku usaha untuk menjual produk dengan harga dibawah harga pasar dengan tujuan untuk memenangkan persaingan dan menyingkirkan pelaku usaha lain dari pasar yang bersangkutan.
Aturan hukum tentang predatory pricing diatur dalam Pasal 7 UU 5/1999 yang berbunyi:
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Masih tentang predatory pricing, juga diatur dalam Pasal 20 UU 5/1999:
Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
Melakukan praktek harga predator atau jual rugi dan menetapkan harga yang sangat rendah adalah perilaku yang dilarang oleh undang-undang, baik dilakukan secara bersama-sama atau dengan perjanjian bersama pelaku usaha lain sebagaimana larangan dalam Pasal 7 UU 5/1999 di atas, ataupun jika dilakukan oleh 1 pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UU 5/1999.
Sehingga, apabila dapat dibuktikan terdapat reseller yang menjual produk di bawah harga pasar dan terbukti dapat menimbulkan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, yang bersangkutan dapat dilaporkan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dengan menggunakan dasar Pasal 7 atau Pasal 20 UU 5/1999. Pelanggaran terhadap pasal tersebut dapat dijatuhi sanksi administrasi Pasal 118 angka 3 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 47 UU 5/1999 jo. Pasal 4 ayat (2) PP 44/2021.
Dengan demikian, di dalam cara menentukan harga reseller, ketentuan-ketentuan yang kami jelaskan di atas sangat penting untuk diperhatikan.