Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Nikah Beda Agama, Dapatkah Camer Minta Mahar Fantastis?

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Nikah Beda Agama, Dapatkah Camer Minta Mahar Fantastis?

Nikah Beda Agama, Dapatkah Camer Minta Mahar Fantastis?
Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Nikah Beda Agama, Dapatkah Camer Minta Mahar Fantastis?

PERTANYAAN

Saya sudah mengajukan lamaran ke calon pasangan saya dan kami berbeda agama. Setelah diadakan perbincangan dengan calon mertua saya, mereka minta uang fantastis sebesar Rp250 juta supaya hubungan kami direstui. Sedangkan, saya tidak mempunyai uang sebanyak itu. Apakah permintaan mahar sebesar ini wajar menurut hukum?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pemberian mahar dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak serta bukan merupakan rukun dalam perkawinan, sehingga pun jika mahar masih terutang dan tidak dibayar tunai, tidak mengurangi sahnya perkawinan. Perlu ditatat, penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.

    Kemudian, Anda menyebutkan soal hendak melangsungkan nikah beda agama. Perihal ini, ada surat edaran yang baru saja diterbitkan tentang hukum pernikahan beda agama di Indonesia. Bagaimana bunyinya?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel berjudul Camer Minta Mahar Fantastis agar Restui Nikah Beda Agama yang pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 31 Januari 2020.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Syarat Sahnya Perkawinan dan Mahar

    Perlu Anda pahami, perkawinan menurut Pasal 1 UU Perkawinan mendefinisikan perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa.

    Sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.[1] Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[2]

    Berdasarkan keterangan Anda, kami menyimpulkan bahwa pasangan Anda beragama Islam. Pengertian mahar dalam hukum Islam dapat dilihat dalam Pasal 1 huruf d KHI adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

    Calon mempelai pria wajib membayar maharkepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.[3]Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.[4]

    Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai. Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian serta mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi utang calon mempelai pria.[5]

    Kewajiban menyerahkan mahar bukanlah rukun dalam perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan.[6]

    Abdullah Siddik dalam buku Sirman Dahwal, Perbandingan Hukum Perkawinan (hal. 31), mendefinisikan perkawinan sebagai suatu perjanjian akad nikah dengan ketentuan sebagai berikut:

    1. Persetujuan kedua belah pihak, baik calon suami/calon istri maupun kedua orang tua,
    2. Harus ada saksi;
    3. Harus ada wali;
    4. Adanya mahar atau maskawin (maskawin atau mahar tersebut tidak menjadi rukun nikah sehingga pada waktu akad nikah, mahar tidak disebut sebagai syarat untuk sahnya perkawinan);
    5. Adanya ijab kabul.

    Masih dalam bukunya yang sama, menurut Sirman Dahwal (hal. 31) mahar adalah hak istri yang diterima dari suaminya sebagai pernyataan kasih sayang dan kewajiban suami terhadap istrinya sebagaimana diatur dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat (4) yang artinya (lebih kurang):

    Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (orang yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

    Sirman Dahwal dalam bukunya Perbandingan Hukum Perkawinan mengutip Ahmad Azhar Basyir yang menguraikan bahwa mas kawin adalah pemberian wajib dari suami kepada istri yang tidak ada batas jumlah minimal dan maksimalnya, karena hanya merupakan simbol kesanggupan suami untuk memikul kewajibannya sebagai suami dalam perkawinan, agar mendatangkan kemantapan dan ketenteraman hati istri (hal. 31).

    Jadi, dapat disimpulkan bahwa besarnya suatu mahar diserahkan kepada kesepakatan calon mempelai pria dan wanita. Asalkan mereka sepakat, tentu mahar tersebut pun sah-sah saja berapapun nilainya dan besar kecilnya nilai mahar pun tidak memengaruhi keabsahan perkawinan.

    Maka, meski tidak ada aturan hukum yang menentukan besarnya mahar, permohonan mahar sebesar Rp250 juta oleh calon mertua (camer) Anda dan dirasa memberatkan untuk Anda, menurut hemat kami, tidak relevan sebagai syarat merestui perkawinan.

    Meskipun dalam praktik seringkali dijumpai turut campur orang tua mempelai atas penentuan mahar, namun kami merujuk kembali pada ketentuan Pasal 33 KHI yang menyebutkan, jika disetujui oleh calon mempelai wanita, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian, sehingga mahar yang belum diserahkan menjadi utang Anda selaku calon mempelai pria.

    Oleh karena itu, Anda tetap dapat melangsungkan perkawinan tanpa harus menyerahkan mahar secara tunai di tempat.

    Di samping itu, jika memerhatikan Pasal 31 KHI, maka mahar seharusnya mencerminkan kesederhanaan dan kemudahan. Kami sarankan Anda untuk berdiskusi dengan calon mertua Anda mengenai jumlah mahar tersebut jika memang tidak mencerminkan kemudahan yang diajarkan agama Islam dalam hal pelunasannya.

    Hukum Nikah Beda Agama

    Kemudian dalam pertanyaan, Anda menyampaikan akan melangsungkan nikah beda agama. Mengenai ini, Mahkamah Agung baru menerbitkan surat edaran tentang hukum nikah beda agama di Indonesia melalui SE Ketua MA 2/2023.

    SE Ketua MA 2/2023 tersebut terbit dilatarbelakangi oleh ketidakpastian hukum dan belum adanya kesepahaman praktik pengesahan pencatatan pernikahan beda agama di Indonesia. Untuk itu, para hakim harus berpedoman pada suatu ketentuan yang memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum sebagai berikut:

    1. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan.
    2. Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan.

    Adapun ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan adalah tentang perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya serta larangan perkawinan yang mempunyai hubungan dilarang kawin oleh agama atau peraturan lain yang berlaku.

    Namun demikian, SE Ketua MA 2/2023 saja tidaklah cukup mengakhiri polemik pencatatan nikah beda agama di Indonesia. Sebab, masih ada ruang yang memungkinkan nikah beda agama. Selengkapnya dapat Anda baca dalam SEMA Belum Cukup untuk Mengakhiri Praktik Kawin Beda Agama.

    Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
    2. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam;
    3. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.

    Referensi:

    Sirman Dahwal. Perbandingan Hukum Perkawinan. Bandung: CV Mandar Maju, 2017. 

    [1] Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”)

    [2] Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan

    [3] Pasal 30 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”)

    [4] Pasal 31 KHI

    [5] Pasal 33 KHI

    [6] Pasal 34 KHI

    Tags

    mahar
    perkawinan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Syarat dan Prosedur Hibah Saham

    11 Okt 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!