Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Perjanjian Jual Beli
Perjanjian jual beli merupakan suatu perjanjian yang bersifat konsensual. Dalam konteks jual beli, tindakan ini terjadi segera setelah para pihak mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar.
[1]
Antara para pihak yang telah bersepakat memiliki hak dan kewajiban masing-masing.
Pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan barang dan berhak untuk memperoleh harga pembayaran.
Sedangkan pembeli berkewajiban untuk membayar harga dan berhak untuk menerima barang yang diperjanjikan.
Setelah kami membaca pertanyaan Anda, memang terdapat selisih ukuran yang sangat jauh antara luas dan harga tanah serta bangunan yang disepakati, dengan luas sebenarnya yang diterima, setelah proses penandatanganan akta jual beli (“AJB”) dilakukan.
Namun di sisi lain, Anda dan ibu istri Anda tetap ingin mempertahankan lokasi tersebut.
Akta jual beli yang sudah ditandatangani di hadapan notaris pada dasarnya sudah mengikat Anda, beserta harga dan luas tanah dan bangunan yang tertera dalam sertifikat akta jual beli tersebut.
Sehingga, Anda tidak dapat serta merta menuntut pengembalian dari kelebihan jumlah yang sudah dibayarkan.
Pengukuran Ulang Sebelum Jual Beli Tanah
Sebagai informasi, menyadur pendapat notaris Irma Devita dalam artikel
Bisakah Menuntut Kembali Kelebihan Luas Tanah Dalam Jual Beli Tanah?, sebelum jual beli tanah dilaksanakan, seseorang sebenarnya dapat mengajukan permohonan pengukuran ulang pada kantor pertanahan setempat, sehingga diketahui secara pasti dan jelas berapa luas tanah tersebut.
Berdasarkan pengukuran ulang tersebut, jika memang terjadi kekeliruan, maka Kepala Kantor Pertanahan akan melakukan perbaikan/perubahan pada data fisik di buku tanah maupun di sertifikatnya. Istilah pertanahannya: minta pengembalian batas.
Untuk tanah yang sudah bersertifikat, jika para pihak tidak mengajukan permohonan untuk pengukuran ulang sebelum dilakukannya transaksi jual beli, maka asumsinya mereka telah setuju untuk membeli tanah sesuai dengan luas yang tertera dalam sertifikat.
Untuk itu, para pihak perlu melihat kembali AJB yang telah ditandatangani. Di dalamnya mungkin terdapat pasal-pasal yang harus para pihak patuhi, terhitung sejak penandatanganan akta tersebut.
Dalam buku Dasar-dasar Teknik Pembuatan Kontrak karangan Oemar Moechtar (hal. 195), terdapat contoh klausul yang umum dicantumkan di dalam AJB, yang menyatakan bahwa:
Dalam hal terdapat perbedaan luas tanah yang menjadi Obyek Jual Beli dalam akta ini dengan hasil pengukuran oleh instansi Badan Pertanahan Nasional, maka para pihak akan menerima hasil pengukuran instansi Badan Pertanahan Nasional tersebut dengan tidak memperhitungkan kembali harga jual beli dan tidak akan saling mengadakan gugatan.
Dengan klausul tersebut, perjanjian dianggap sah dan mengikat para pihak untuk tidak saling menuntut di kemudian hari.
Indikasi Kekhilafan atau Penipuan
Terlepas dari hal tersebut, indikasi adanya kecacatan dalam pembuatan perjanjian jual beli yang telah Anda buat, baik karena kekhilafan atau penipuan, tetap tak dapat dikesampingkan.
Dalam hal ini, si penjual tidak jujur dan beriktikad baik menggambarkan kondisi tanah sebenarnya.
Selain itu, kami asumsikan pula terdapat perbedaan antara luas tanah ketika ditawarkan oleh penjual dengan yang tercantum di dalam sertifikat.
Syarat sah perjanjian sendiri terdiri atas:
[2]kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
suatu pokok persoalan tertentu;
suatu sebab yang tidak terlarang.
Pada prinsipnya, tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
[3]
Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan, kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan.
[4]
Kekhilafan juga tidak mengakibatkan kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai diri orang yang dengannya seseorang bermaksud untuk mengadakan persetujuan, kecuali jika persetujuan itu diberikan terutama karena diri orang yang bersangkutan.
[5]
Di sisi lain, p
enipuan juga merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat. Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira, melainkan harus dibuktikan.[6]
Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian (hal. 24) menjelaskan bahwa penipuan terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya.
Pihak yang menipu tersebut bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. Misalnya mobil yang ditawarkan diganti dulu mereknya, dipalsukan nomor mesinnya, dan sebagainya.
Lebih lanjut, Subekti juga menambahkan bahwa menurut yurisprudensi, tidak cukup orang itu hanya melakukan kebohongan mengenai suatu hal saja, melainkan harus ada rangkaian kebohongan atau suatu perbuatan yang dinamakan tipu muslihat.
Maka yang dapat Anda lakukan adalah membatalkan perjanjian jual beli tanah tersebut ke pengadilan negeri dengan dasar penipuan atau kekhilafan dari perantara jual beli atau penjual tanah tersebut.
Jalan Keluar: Musyawarah
Namun karena Anda dan ibu istri Anda sejak awal ingin mempertahankan tanah dan bangunan yang telah dibayar, meskipun ada ketidaksesuaian luas dengan yang awalnya diperjanjikan oleh si perantara atau penjualnya, maka kami sarankan Anda dan ibu istri Anda duduk bersama dengan mereka.
Beliau dapat melakukan mediasi atau musyawarah dengan penjual serta perantara, untuk menemukan solusi terhadap pengembalian kelebihan pembayaran. Musyawarah tersebut juga perlu dihadiri saksi-saksi.
Bila sudah menemukan solusinya, para pihak dapat menuangkannya dalam sebuah kesepakatan tertulis yang ditandatangani bersama (penjual, pembeli, dan saksi- saksi), untuk memperjelas dan menguatkan hasil mediasi tersebut.
Jika mediasi tidak berhasil, sebaiknya Anda mempelajari kembali rangkaian pembicaraan terkait jual beli, baik antara ibu istri Anda dengan perantara, serta antara perantara dengan si penjual tersebut.
Dari pembicaraan itu, walaupun hanya melalui pesan singkat atau WhatsApp (WA), bisa ditelusuri rincian yang menjadi pokok perjanjian dengan si penjual, untuk mencari bukti-bukti.
Setelah semua gambarannya menjadi lengkap, barulah Anda mengambil langkah hukum selanjutnya.
Dalam hal ini, Anda dapat mengajukan permohonan pembatalan perjanjian ke Pengadilan Negeri.
Jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Sebagaimana pernah diuraikan dalam artikel
Pembatalan Perjanjian yang Batal demi Hukum, dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas).
Akibat hukum terhadap para pihak dalam perjanjian apabila terjadi pembatalan perjanjian adalah timbulnya hak untuk pemulihan sebagaimana keadaan semula sebelum terjadinya perjanjian.
Berarti juga pihak penjual yang tertera dalam perjanjan akan mengembalikan keseluruhan pembayaran yang sudah dilakukan kepada pihak pembeli.
Anda juga dapat melapor ke Kepolisian atas dasar tindak pidana penipuan.
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Oemar Moechtar. Dasar-dasar Teknik Pembuatan Kontrak. Surabaya: Airlangga University Press. 2017;
Subekti. Hukum Perjanjian. Bogor: Intermasa. 2008.
[2] Pasal 1320 KUH Perdata
[3] Pasal 1321 KUH Perdata
[4] Pasal 1322 KUH Perdata
[6] Pasal 1328 KUH Perdata