Berisiko Perang Dagang, Pemerintah Diminta Hati-hati Pungut Pajak Digital
Berita

Berisiko Perang Dagang, Pemerintah Diminta Hati-hati Pungut Pajak Digital

Pajak digital bukan hanya soal penerimaan, melainkan juga terkait erat dengan dampak-dampaknya, misalnya perdagangan internasional.

Mochammad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit

Jika sampai terjadi perang dagang antara Indonesia dengan Amerika Serikat, misalnya, sektor manufaktur Indonesia akan sangat terpukul, mengingat Amerika Serikat adalah pasar terbesar dari hasil manufaktur Indonesia. Sementara itu, opsi multilateral optimis akan keluar paling lambat tahun 2021.

“Karena itu, sesungguhnya tak ada cukup alasan bagi Indonesia untuk melanjutkan langkah unilateral dalam bentuk Pajak Transaksi Elektronik (PTE) dan redefinisi BUT yang terlalu dini,” jelas Fajry, Rabu (10/6). (Baca: Produk Digital dari Luar Negeri Dikenai PPN Mulai 1 Juli, DJP Siapkan Regulasi Turunan)

Fajry memaparkan isu pajak digital sesungguhnya adalah digitalisasi ekonomi, bukan ekonomi digital. Digitalisasi tak terbatas pada perusahaan digital seperti Facebook, Netflix, Spotify, dan sejenisnya. Digitalisasi terjadi pada semua sektor, tak terkecuali sektor manufaktur. Ke depan, bukan hanya perusahaan digital yang tak membutuhkan kehadiran fisik. Perusahaan konvensional seperti otomotif pun bisa saja tak lagi membutuhkan kehadiran fisik.

“Karena itu, jangan sampai solusi atas masalah pajak digital ini bersifat diskriminatif, menyasar perusahaan digital tertentu saja, tanpa mempertimbangkan proses digitalisasi yang kini tengah terjadi pada hampir semua sektor. Hal ini pun sesuai dengan arah dari OECD yang menolak untuk melakukan “ring fencing”,” jelasnya.

Dia menekankan seharusnya penerapan pajak berprinsip menciptakan keadilan bukan optimalisasi penerimaan. Fokus pada penerimaan hanya akan menciptakan dikotomi antara negara produsen dan negara konsumen.

“Akibatnya, konsensus akan sulit tercapai. Andai kata kita mengambil langkah optimalisasi penerimaan pun, belum tentu akan menguntungkan di kemudian hari. Memang, kini, Indonesia cenderung menjadi negara konsumen jasa digital. Namun, melihat potensi yang ada, di masa depan Indonesia dapat menjadi negara produsen jasa digital. Jangan sampai kebijakan yang diambil hari ini menjadi bumerang di masa mendatang,” ujarnya.

Menurutnya, diskusi pajak digital harus menjawab pertanyaan paling fundamental mengenai suatu yurisdiksi berhak untuk memajaki suatu profit yang dihasilkan oleh perusahaan digital. Dia menilai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dapat menjadi solusi sementara.

Tags:

Berita Terkait