Calon Jaksa Minta MK "Rombak" Definisi Penuntut Umum dalam UU Kejaksaan
Terbaru

Calon Jaksa Minta MK "Rombak" Definisi Penuntut Umum dalam UU Kejaksaan

Berkaitan definisi jaksa/penuntut umum dan jaksa agung. Dalam petitumnya, pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan uji materiil (judicial review) terhadap ketentuan Pasal 1 angka 3, Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 21 UU Kejaksaan terhadap UUD 1945.

Agus Sahbani
Bacaan 3 Menit
Pemohon Prinsipal Jovi Andrea Bachtiar (tengah) menjelaskan pokok permohonan pada sidang pendahuluan uji materi UU Kejaksaan, Selasa (5/4/2023) di Ruang Sidang MK. Foto: Humas MK
Pemohon Prinsipal Jovi Andrea Bachtiar (tengah) menjelaskan pokok permohonan pada sidang pendahuluan uji materi UU Kejaksaan, Selasa (5/4/2023) di Ruang Sidang MK. Foto: Humas MK

Mahkamah Konstitusi (MK) telah menggelar sidang uji materil Pasal 1 angka 3, Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 21 UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (UU Kejaksaan) pada Selasa (4/4/2023) lalu. Permohonan ini diajukan oleh Jovi Andrea Bachtiar yang berprofesi sebagai Analis Penuntutan/Calon Jaksa pada Kejaksaan Negeri Tojo Una-Una, Wakai, yang mempersoalkan terbukanya jabatan Jaksa Agung dari nonkarier.  

Pemohon melalui Welly Anggara selaku kuasa hukum meminta agar Mahkamah memberikan tafsir konstitusional untuk memperbaiki definisi Penuntut Umum dalam Pasal 1 angka 3 UU Kejaksaan agar mencakup juga Jaksa Agung selain jaksa yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Sebab, bisa saja seorang Jaksa Agung merupakan pensiunan jaksa yang tidak lagi berstatus PNS.

Dengan demikian, norma a quo nantinya diharapkan tidak lagi bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UU Kejaksaan. Pemohon juga memohonkan agar Mahkamah memberikan tafsir tentang pengangkatan Jaksa Agung yang tidak disertai adanya fit and proper test di DPR RI yang menjadi bagian dari penerapan check and balances. Hal ini, kata Jovi, dapat berakibat mengganggu independensi Kejaksaan Agung RI sebagai penegak hukum di Indonesia.

Selanjutnya, Pasal 20 UU Kejaksaan menurut Pemohon membuka ruang kesempatan dengan sangat mudah bagi seseorang yang tidak pernah mengalami berbagai hal dan tahapan proses sebagai jaksa untuk menjadi Jaksa Agung. Padahal, ungkap Yovi, pemohon sendiri telah bersusah payah merintis karier sebagai seorang Analis Penuntutan selama 1 – 2 tahun dan mengikuti program Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) selama berbulan-bulan agar dapat diangkat sebagai seorang jaksa. Sehingga norma tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.

“Tanpa mengikuti PPPJ, di mana pemohon hanya untuk mengubah status dari analis penuntutan menjadi calon jaksa harus lulus pelatihan yang diadakan di Badiklat Kejaksaan RI. Ada kemungkinan tidak lulus jika ada penilaian pimpinan itu tidak layak untuk dinyatakan lulus dan dilantik,” kata Yovi di hadapan sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didamping Wahiduddin Adams dan Enny Nurbaningsih selaku anggota Majelis Panel seperti dikutip dari laman MK.

Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan uji materiil (judicial review) terhadap ketentuan Pasal 1 angka 3, Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 21 UU Kejaksaan terhadap UUD 1945.

Kerugian Konstitusional Pemohon

Terkait permohonan ini, Anggota Majelis Panel Wahiduddin Adams memberikan nasihat mengenai kerugian konstitusional yang dijelaskan belum menukil pada permohonan. Selain itu, belum pula diuraikan hubungan sebab-akibat dari keberlakuan norma dengan kerugian yang potensial dialami pemohon. Berikutnya, pada petitum yang terdapat pada permohonan ada hal-hal yang tidak lazim dan berbeda dari permohonan yang pernah dimohonkan ke MK.

Anggota Majelis Panel lain, Enny Nurbaningsih menyebutkan untuk bagian kewenangan Mahkamah untuk disebutkan bunyi UUD 1945, UU Kekuasaah Kehakiman, UU MK, sehingga berwenang mengujikan perkara. Selanjutnya terkait dengan hak yang diberikan konstitusi terhadap pemohon belum diuraikan pada permohonan.

“Tunjukkan ada atau tidaknya kerugian konstitusional yang faktual atau potensial. Untuk tax payer ini tidak perlu karena tidak berkaitan dengan undang-undang perpajakan,” saran Enny.

Sementara itu, Ketua Majelis Panel Suhartoyo dalam nasihatnya menyebutkan perlu argumentasi yang padat dan substantif dari permohonan, sehingga runutan dari permohonan menjadi lebih ringkas dan jelas. Selain itu, berkaitan dengan legal standing sebaiknya diuraikan kerugian yang potensial. Sebab, pemohon belum memenuhi syarat mencalonkan diri menjadi jaksa agung di masa yang dekat. “Berikan pandangan perbedaan dipimpin jaksa agung yang karier dengan yang tidak karier, berikan narasi-narasinya,” sarannya.

Tags:

Berita Terkait