Hamnah Hasanah: Advokat Perempuan Memaknai Kebebasan
Hukumonline NeXGen Lawyers 2024

Hamnah Hasanah: Advokat Perempuan Memaknai Kebebasan

Dalam lingkup karier yang didominasi oleh laki-laki, penting bagi perempuan untuk "menembus langit-langit kaca" dan kemudian membuka jalan demi meruntuhkan prasangka gender. Bagi Hamnah, kunci untuk menghadapi tantangan sebagai profesional hukum perempuan ialah dengan meningkatkan kemampuan analisis dan praktis.

Tim Hukumonline
Bacaan 3 Menit

Alhasil, law firm tempat Hamnah berkontribusi masuk ke dalam “Top 12 Kantor Hukum Berdasarkan Jumlah Transaksi IPO 2020” dan “Jajaran Kantor Hukum dan Lawyer Paling Giat Transaksi dan Emisi Tertinggi IPO 2022” versi Hukumonline. 

Prestasi yang didapat Hamnah patut diperhitungkan, mengingat pada periode tersebut sedang terjadi pandemi global Covid19 yang berdampak serius terhadap perekonomian negara, termasuk dunia pasar modal. Persaingan antara konsultan hukum pun saat itu sangat kompetitif. Hanya lawyer yang memiliki nilai tambah yang mampu mempertahankan daya saing dalam kondisi kritis seperti itu.

Memiliki pengalaman yang berfokus pada hukum komersial dan korporasi tidak membuat Hamnah merasa puas dan berhenti melakukan aktualisasi diri. Tahun 2022, dia bergabung dengan tim lawyer SWA Advocates & Legal Consultants, firma hukum dengan keahlian dalam area litigasi dan penyelesaian sengketa. 

Terinspirasi dari kata-kata Jimmy McGill dalam TV Series Better Call Saul: “Perfection is the enemy of the perfectly adequate”, Hamnah memutuskan sudah saatnya menguji kunci cakap hukum yang kedua, yakni berpraktik (practicality). Kutipan Jimmy memang terdengar memiliki konotasi negatif (kesempurnaan adalah musuh yang sangat memadai). Namun, ketimbang mengartikannya secara literal, Hamnah lebih suka pada sentilan cerdik yang terkandung implisit di dalamnya.

Kemampuan memilah informasi, mengkaji secara kritis, menganalisis data, teori, dan argumen, serta menyelaraskan dengan konteks, merupakan deretan keterampilan seorang lawyer yang bersifat analitis. Skillset tersebut akan tercermin dalam written product mereka dalam memberikan opini hukum. 

Hamnah menyadari hukum praktis menuntut keterampilan yang lebih. Bekerja di firma hukum yang menangani berbagai macam sengketa pidana, perdata, administrasi negara, persaingan usaha, hubungan industrial dan lain sebagainya, tidaklah mudah. Dia banyak belajar bagaimana memberikan solusi hukum yang strategis dan efektif, tapi tetap memprioritaskan kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai klien. 

Dia pun jadi paham pentingnya memperhatikan aspek-aspek lain saat memberikan jasa hukum, seperti economic reasoning (analisis untung rugi), penyampaian bahasa yang singkat tapi tepat sasaran, komunikasi yang efisien, serta kemampuan persuasi. Pengetahuan itu menjadi ilmu baru bagi Hamnah, melengkapi keterampilan yang dimilikinya sebelumnya.

Kembali ke semangat Breaking the Glass Ceiling, menurut Hamnah, pekerjaan rumah berikutnya bagi lawyer perempuan adalah bagaimana menerjemahkan kesempatan yang dimiliki menjadi sesuatu yang bermakna. Perjuangan membebaskan perempuan untuk menentukan pilihan hidup termasuk dalam berprofesi, harus diikuti dengan kesadaran penuh atas konsekuensi dari kebebasan itu sendiri. 

Terinspirasi dari pandangan Beauvoir soal kebebasan, dalam tulisannya “The Ethics of Ambiguity”, bahwa esensi kebebasan itu bukan meniadakan segala keterbatasan, tapi justru memilih batasan-batasan mana yang selaras dengan nilai-nilai hidup kita sendiri.

Dalam konteks perempuan dan profesi hukum, memilih menjadi lawyer yang cakap dan kompeten berarti juga memilih tantangan-tantangan yang mengikutinya. Bagi Hamnah, kuncinya dengan meningkatkan kemampuan analisis dan praktis. 

Tags:

Berita Terkait