Komitmen ASEAN Dorong Perdamaian Myanmar
Berita

Komitmen ASEAN Dorong Perdamaian Myanmar

Presiden Jokowi menegaskan bahwa kekerasan di Myanmar harus dihentikan dan kepentingan rakyat harus selalu menjadi prioritas.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 5 Menit

Kondisi yang terjadi di Myanmar saat ini berada dalam keadaan mencekam. Jurnalis dan Editor in Chief Myanmar Now, Swe Win menceritakan tindakan represif aparat militer terhadap masyarakat yang menjadi demonstran. Tidak hanya kekerasan pemukulan melainkan penembakan di tempat tanpa pandang bulu juga dilakukan aparat militer.

“Militer perlahan-lahan menambah partisipasi dalam politik dan kondisi ini berubah pada 1 Februari setelah kudeta kami lihat demonstrasi masal dan direspons militer dengan kekerasan. Lebih dari ratusan orang termasuk anak-anak dibunuh, 3 ribu orang dipenjara,” jelas Swe Win dalam Webinar Hukumonline sebelumnya. 

Penegakan hukum terhadap demonstran juga dilakukan tanpa prosedur yang seharusnya. Win menyatakan masyarakat diadili tanpa persidangan hingga tidak didampingi pengacara. Bahkan, hakim yang memutuskan vonis pada demonstran bukan hakim pengadilan. “Publik sudah tidak peduli dengan hukum saat ini karena tidak ada lagi ruang bagi hakim. Dalam hal ini militer yang menentukan apa yang terjadi pada tahanan politik ini. Dan akan diputuskan oleh hakim yang mengenakan seragam militer,” jelas Win.

Kekerasan junta militer tersebut menimbulkan keresahan bagi masyarakat secara luas. Aktivitas masyarakat hingga bisnis pada pusat kota terhenti. Layanan perbankan hingga akses internet diputus junta militer. Aktivitas pers juga dilarang melalui pencabutan izin atau pembredelan perusahaan media massa.

“Banyak orang hidup dalam ketakutan sehingga harus meninggalkan kota-kota besar menuju desa-desa kecil. Ini situasi yang terjadi sekarang, keseluruhan sektor perbankan collapse, bank sudah tutup selama lebih dari satu bulan. Masyarakat tidak bisa gunakan internet, rezim militer mulai blokir sosial media, twtter hingga semua jenis jaringan internet. Layanan internet hanya bisa diakses lewat broadband, layanan internal. Orang-orang hidup dalam keadaan sangat ketakutan. Tapi kami lihat demonstrasi penembakan setiap hari. Tidak ada hari yang berlalu tanpa penembakan,” jelasnya.

Win menjelaskan demonstran penolak junta militer terdiri dari beragam kelompok usia. Bagi demonstran kelompok usia 20-30 tahun, Win mengatakan pengunjuk rasa merasa kebebasan mereka terhalang karena junta militer yang memutus semua akses jaringan internet. Dia menilai demonstran usia muda tersebut mengalami blackout informasi yang tidak pernah dirasakan sebelumnya.

“Ini adalah generasi yang tidak pernah alami ini sebelumnya, kalau kita lihat kelompok umur yang banyak hadir antara 20-30 tahun ini generasi belum pernah alami pemerintahan militer mereka tidak pernah alami blackout informasi ini adalah generasi internet generasi milineal yang bisa hidup tanpa makan tapi tidak bisa hidup tanpa internet, ini adalah hak dasar mereka hak yang harus ada dalam hidup mereka,” jelas Win.

Kelompok demonstran lain berusia di atas 30 tahun yang tidak menginginkan junta militer kembali berkuasa pada pemerintahan Myanmar. Win menjelaskan junta militer akan bertindak represif terhadap masyarakat dan membuat aturan-aturan yang mengekang kebebasan masyarakat.

“Kami tidak mau kembali ke hukum militer itu. Pemerintahan militer itu membuat ketakutan masyarakat. Mereka membuat Undang Undang yang mewajibkan tamu menginap di rumah seseorang harus lapor ke pemerintah setempat jika tidak patuh terhadap hukum ini dipenjara 30 hari,” jelas Win.

Tags:

Berita Terkait