Mantan Hakim MK Ini Dulu Pendukung Jokowi, Sekarang Kecewa
Utama

Mantan Hakim MK Ini Dulu Pendukung Jokowi, Sekarang Kecewa

Dalam negara demokrasi di berbagai negara belum pernah ada Presiden yang mendudukan anaknya jadi Wakil Presiden. Karena pemerintahan itu harus fair dalam pemilu.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Mantan hakim konstitusi, Maruarar Siahaan. Foto: Humas MK
Mantan hakim konstitusi, Maruarar Siahaan. Foto: Humas MK

Berbagai kalangan menilai pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) tahun 2024 dinilai tidak sepanas pemilu dua periode sebelumnya, 2014 dan 2019. Sebab dalam dua kali pemilu sebelumnya hanya ada 2 pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (Capres-Cawapres) yang saling berhadap-hadapan. Yakni Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dengan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Pemilu 2014) dan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dengan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (Pemilu 2019).

Mantan hakim konstitusi Maruarar Siahaan, mengaku sebelumnya sebagai pendukung Jokowi di dua pemilu sebelumnya. Tapi sekarang pria kelahiran Tanah Jawa Sumatera Utara itu mengaku kecewa. Dia beralasan dalam negara demokrasi di manapun belum ada presiden yang mendudukan anaknya menjadi Wapres.

“Saya dulu pendukung Jokowi tapi (sekarang) saya kecewa. Karena pemerintahan itu harus fair dalam pemilu,” katanya dalam diskusi yang digelar Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis, Selasa (23/01/2024) kemarin.

Kecewa mantan hakim pengawal konstitusi itu bukan tanpa sebab. Maruarar menyebut ada kecemasan dalam Pilpres 2024. Menyadur istilah dalam hukum acara di Amerika Serikat, yakni ada ‘buah dari pohon beracun’ yang sudah masuk dalam sistem pemilu. Hal itu dapat dilihat antara lain dari putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 yang memberi makna baru terhadap Pasal 169 huruf q UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Kemudian putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutus Anwar Usman melanggar etik dan independensi sehingga dikenakan sanksi berupa pencopotan statusnya sebagai Ketua MK.

Baca juga:

Maruarar mengingatkan UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sudah mengatur tegas bagi hakim yang memeriksa perkara terbukti punya kepentingan dan hubungan keluarga dengan pihak berperkara maka putusannya tidak sah. Sayangnya dalam putusan MK No.141/PUU-XXI/2023 ketentuan UU 48/2009 itu tidak digunakan malah MK menyebut lembaganya tidak tunduk terhadap beleid tersebut.

Padahal jelas Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menegaskan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah MA dan dan badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi. Persoalan yang ada di MK itu membuat Maruarar khawatir sebab lembaga berjuluk penjaga konstitusi itu menangani perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) 2024. Menurutnya setiap proses penyelenggaraan pemilu pasti berdampak terhadap hasil. Tapi hal ini tak lepas dari posisi Indonesia yang berada dalam masa transisi dari otoriter ke demokrasi dimana selalu ada godaan untuk kembali ke era otoriter.

Tags:

Berita Terkait