Masalah Hukum Perluasan Harta Benda Wakaf, dari Saham dan Sukuk hingga Manfaat Polis Asuransi
Lipsus Lebaran 2020

Masalah Hukum Perluasan Harta Benda Wakaf, dari Saham dan Sukuk hingga Manfaat Polis Asuransi

Walau sudah dipraktikkan, petunjuk teknis mengenai objek wakaf saham, sukuk dan manfaat polis asuransi. Baru diatur secara umum dalam UU Wakaf.

Hamalatul Qur’ani
Bacaan 2 Menit

Alasannya, sesuai UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, pada prinsipnya PT berorientasi profit. Sebaliknya, orang, organisasi atau badan hukum seperti yayasan yang selama ini menjadi nazhir orientasinya nirlaba (non-profit). Secara visi dan misi, sudah tentu berbeda. Basic prinsipil dari nazhir adalah tolong-menolong, artinya betul-betul nirlaba. “Jadi kalau orientasinya profit, jangan sampai dananya habis untuk memberikan imbal hasil bagi pemegang saham,” tukasnya.

Meskipun dalam UU sudah ada pembatasan bahwa pengelola wakaf hanya bisa mendapatkan maksimal 10 persen dari hasil investasi objek wakaf (Pasal 12), jika orientasinya profit tetap saja dalam pelaksanaannya menjadi bermasalah lantaran visinya memang bukan untuk sosial non-profit. Hal ini disebut Azhar kerap terjadi di perusahaan asuransi syariah. Perlu diketahui, karena asuransi syariah sifatnya adalah alternatif dari asuransi konvensional, maka bentuknya adalah PT. “Karena itu dalam pelaksanaannya menjadi tidak ideal. Posisi PT sebagai nazhir ini masih dalam diskusi,” tukasnya. (Baca: Sekelumit Peran Zakat Kala Pandemi  Covid-19)

Rugi Bisnis Harta Wakaf

Dapat dikatakan bahwa tingkat volatilitas dalam berbisnis itu sangat tinggi, untung dan rugi merupakan hal yang tak bisa dipastikan seratus persen. Katakanlah wakaf uang dimasukkan dalam bentuk deposito, kata Nadra, ketika inflasi tinggi maka nilai uang itu akan turun, tetapi nominalnya tetap. Tergantung pendekatan mana yang digunakan. Jika pendekatan tekstual dikedepankan, maka penilaiannya cukup pada nilai nominal yang tetap.

“Kalau turun itu kan namanya risiko bisnis, tapi kita bilang tetap on track, karena angka itu dalam satu tahun bisa naik turun, tapi tetap meningkat. Seperti uang kan kalau ditaruh dalam bentuk deposito nilainya akan turun terus, tetapi dapat manfaat,” jelasnya kepada hukumonline.

Jika dianalogikan dengan wakaf barang, secara fisik sama saja nilainya juga bisa turun, seperti wakaf mobil, motor atau kendaraan misalnya. Namun manfaat dari keberadaan fisik wakaf kendaraan itu tetap tidak hilang. “Menurut saya, ada pendekatan fisik nominal dan pendekatan value. Kalau kita bawa ke ranah value kita bisa berdebat, karena value sifatnya relatif,” katanya.

Namun, sebagai seorang nazhir, tetap diharuskan melakukan upaya maksimal agar wakaf uang dalam bentuk saham, deposito dan sukuk tidak melulu merugi. Dalam konteks saham, bila suatu perusahaan memang merugi terus, bisa dilakukan opsi pemindahan saham ke perusahaan lain, mengingat nazhir harus selalu beriorientasi bagaimana penerima manfaat wakaf (mauquf ‘alaih) dapat menerima manfaat lebih besar. “Selama itu di luar kontrol nazhir, bukan faktor kesengajaan, maka tidak ada masalah di situ, kecuali nazhirnya melakukan kesengajaan, baru harus ganti,” katanya.

Jika nazhir dengan sengaja melakukan kesalahan, UU Wakaf memungkinkan dilakukan pergantian. Tetapi pada intinya, kunci keberhasilan pemanfaatan harta benda wakaf banyak bergantung pada nazhir. Peraturan yang lebih rinci mengenai harta-harta benda wakaf dibutuhkan untuk memandu nazhir.

Tags:

Berita Terkait