Menakar Kebahagiaan
Tajuk

Menakar Kebahagiaan

Kita adalah bangsa yang bahagia, karena selain kita memiliki semua kapasitas untuk menjadi bangsa yang besar, kita masih bisa tertawa dalam keadaan apapun.

Oleh:
Arief T Surowidjojo
Bacaan 6 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Minggu lalu, ketika sekelompok orang yang sadar kewajibannya sebagai warga negara sedang kumpul-kumpul diskusi tentang masalah-masalah mendesak bangsa Indonesia. Ada seorang teman mengusik pertemuan dengan membacakan artikel yang baru saja muncul di layar telepon genggamnya, yaitu berita tentang keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memutuskan gugatan perdata suatu Partai Politik terhadap Komisi Pemilihan Umum.

Majelis Hakim memutuskan untuk menghukum KPU tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama 2 tahun 4 bulan dan 7 hari sejak putusan dibacakan. Otomatis, putusan ini berimbas pada penundaan pemilu. Kemudian, keajaiban media sosial yang didukung teknologi muncul ke permukaan. Komentar-komentar atas keputusan pengadilan tersebut membanjiri dunia maya. Dari analisis ahli berbasis teori hukum ketatanegaraan, sampai komentar kelas netizen yang hanya belajar hukum konstitusi dari cuitan kelas warung kopi.

Dari semua komentar yang bermunculan, ada satu kesepakatan yang menyadarkan saya, semua merasa ini sepertinya merupakan bagian dari ekspresi rasa humor orang Indonesia. Alih-alih kemarahan yang mencuat, hampir semua berkomentar bahwa Majelis Hakim dalam perkara perdata tersebut mungkin sekali sedang melucu, di tengah kebosanan mereka memutus perkara-perkara “biasa”. Seseorang kemudian berceletuk: “Ini mati ketawa ala hakim Indonesia”.

Bisa jadi ini adalah suatu keputusan perkara perdata yang memporak-porandakan prinsip ketatanegaraan. Ini bukan hal lucu yang patut ditertawakan. Ini menyedihkan. Tetapi sebagian besar kita tertawa, mungkin tertawa getir, karena kita terlalu terbiasa dengan situasi politik, hukum, ekonomi dan sosial budaya yang seringkali menggelikan. Apakah ini ciri dari kita sebagai bangsa yang bahagia karena punya rasa humor yang tinggi?

Saya coba tilik dalam suatu survei (Word Happiness Reports 2022) tentang negara dan bangsa paling bahagia sedunia. Nyatanya kita tidak termasuk yang mendapatkan peringkat baik. Diberitakan, 10 negara paling bahagia sedunia secara berurutan adalah Finlandia, Denmark, Islandia, Swiss, Belanda, Luxembourg, Swedia, Norwegia, Israel dan Selandia Baru.

Belanda yang sekarang sejahtera karena ratusan tahun menguras Nusantara wajar bisa bahagia. Israel yang dibentuk dari dendam kesumat ribuan tahun banyak bangsa, dan masih berseteru dengan banyak bangsa lain di dunia, agak mengherankan bisa masuk kategori bangsa bahagia. Indonesia menempati posisi 80 di tahun 2021 dan 87 di tahun 2022 dari daftar 146 negara yang sempat diukur-ukur. Jauh lebih baik dari Afghanistan yang menempati posisi buntut. Dan Zimbabwe, Rwanda, Botswana, Lesotho, Malawi, Haiti. Tanzania, Yemen, dan Burundi yang menemani Afghanistan sebagai mereka yang kebahagiaannya menempati urutan 10 terbawah.

Indonesia dikategorikan sebagai bangsa yang agak berbahagia, atau dari kaca negatifnya, lumayan tidak bahagia. Mungkin kalau kita bisa meminjam pepatah Tiongkok kuno: ‘kü xiào bù dé’ yang artinya kurang lebih “tidak paham harus tertawa atau menangis” atau “lucu sekaligus sangat memalukan”. Ada juga seseorang yang saya google pernah mengatakan, ”Life’s most embarrassing moments are actually good for the soul. They humble you and can teach you how to laugh at yourself, Being able to laugh at oneself is key for true happiness.” Mungkin semua itu benar. Menertawakan diri sendiri adalah cara yang cespleng untuk membebaskan diri, dan berangkat menjadi dewasa. Kalau ukurannya adalah ini, maka kita mungkin bisa dibilang bangsa yang paling bahagia di dunia, melebihi negara-negara di Skandinavia.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait