Menghidupkan Pasal Penghinaan Presiden Dianggap Bentuk Pembangkangan Konstitusi
RKUHP

Menghidupkan Pasal Penghinaan Presiden Dianggap Bentuk Pembangkangan Konstitusi

Tapi, DPR dan pemerintah yakin memasukan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dengan mengubah delik dalam RKUHP tak menabrak putusan MK.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi. Hol
Ilustrasi. Hol

Menghidupkan kembali sebuah pasal dalam UU yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannnya secara hukum memang tak ada larangan. Tapi, secara doktrin menghidupkan pasal yang telah dibatalkan MK dalam sebuah UU baru bentuk constitutional disobedience atau pembangkangan terhadap konstitusi. Ini seperti halnya seperti menghidupkan kembali pasal tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Demikian disampaikan dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura. “Secara hukum tidak ada larangan, namun secara doktrin dapat dikatakan pembangkangan terhadap konstitusi terutama terhadap tafsir MK,” ujar Charles Simabura menanggapi dihidupkannya kembali pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam RKUHP, kepada Hukumonline, Rabu (9/6/2021).

Charles memperkirakan kalaupun ketentuan pasal penghinaan presiden dipaksakan masuk lagi dan disahkan menjadi KUHP terbaru, ujungnya berpotensi bakal dipersoalkan kembali ke MK. Tapi, tidak tertutup kemungkinan tafsir sembilan hakim konstitusi bakal berubah, lantaran tradisi asas preseden tak begitu mengakar kuat di MK terutama bila menggunakan putusan conditionally constitutional dan prinsip the living constitution.

Dia menilai berubahnya tafsir MK dalam sebuah putusan pengujian UU akhirnya mengurangi makna final dan mengikat sebagai sifat putusan MK. Bahkan, MK pun terkadang abai dengan putusan sebelumnya yang berdampak tak memiliki kepastian hukum. Terlebih, hukum dibuat sesuai selera pembentuk UU tanpa memperhatikan wewenang lembaga lain, terutama pengadilan. Boleh dibilang, masing-masing lembaga menonjolkan arogansi konstitusionalnya, sehingga mengabaikan check and balance antar lembaga negara.

“Yang ada saat ini legislative dictatorship. Dalam hal MK semena-mena juga dalam memutus dan tidak konsisten, maka muncul judicial dictatorship.” (Baca Juga: Delik Aduan, Pasal Penghinaan Presiden Tak Boleh Multafsir)

Semestinya pembentuk UU menghormati putusan MK yang telah membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam KUHP pada 2006 silam. Dalam putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 dan No. 6/PUU-V/2007, MK mencabut Pasal 134, 136 bis, 137 dan Pasal 154-155 KUHP tentang penghinaan presiden dan pemerintah.

Hal tersebut demi menjaga prinsip negara atau supremasi hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Sebab, bila hal ini dibiarkan praktik pembangkangan terhadap konstitusi ke depannya pembentuk UU dapat melakukan hal serupa terhadap UU lain yang telah dibatalkan MK. “DPR dan pemerintah harus menghormati juga prinsip check and balance dan tidak main adu kuat. Sederhananya seolah-olah ingin mengatakan bahwa apapun putusan MK jika kami berkeinginan bisa saja membuat UU baru dengan substansi yang sama,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait