Menjaga Benteng Terakhir KPK
Konsiderans

Menjaga Benteng Terakhir KPK

​​​​​​​Jika diibaratkan dengan praktik bisnis, yang terjadi pada KPK mirip Hostile Takeover. Kepemilikan sahamnya diubah dengan revisi UU KPK, manajemennya coba dibongkar dengan Tes Wawasan Kebangsaan.

Bacaan 5 Menit

Dalam proses revisi UU KPK, ada ketidakjelasan dari sikap Presiden Jokowi. Presiden cepat mengeluarkan Surat Presiden (Surpres), tapi undang-undang ini malah akhirnya diundangkan pada 17 Oktober 2019 tanpa tandatangan Presiden Jokowi.

Uniknya, meski tak mau tandatangan pengesahan undang-undangnya, Presiden Jokowi cukup sigap dan relatif cepat menetapkan PP No.41 Tahun 2020 tentang pengalihan pegawai KPK menjadi ASN pada 24 Juli 2020. Pimpinan KPK kemudian menindaklanjuti PP ini dengan menetapkan Peraturan KPK No.1 Tahun 2021 tentang tata cara pengalihan pegawai KPK menjadi ASN. Kesemuanya ini berujung pada pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan yang bermasalah.

Terlihat ada inskonsistensi dari rentetan sikap Presiden Jokowi. Mungkin satu-satunya konsistensi yang ditunjukkan presiden dalam hal ini, adalah sikapnya yang konsisten untuk tidak bisa diharapkan dalam hal keberpihakan pada upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Perlu diingat, ketika didatangi oleh sederetan tokoh pada 26 September 2019, presiden sempat menyatakan untuk mempertimbangkan Perppu guna mencabut revisi UU KPK. Gagasan Perppu kemudian menguap, sampai akhirnya persoalan revisi UU KPK berakhir di Mahkamah Konstitusi dengan mengecewakan.

Serangan pada KPK memang tampak kian bertubi-tubi dan canggih. Tidak terbatas pada serangan teror fisik ataupun rekayasa kriminalisasi seperti yang sudah-sudah, serangan kini jadi lebih sistematis dan datang dari berbagai penjuru. Terlebih lagi, dukungan publik pada KPK telah terpolarisasi dan terpecah-belah. Hembusan sentimen elektoral, pelintiran fitnah keberadaan  “taliban” atau “kadrun” di KPK, efektif didengungkan oleh para buzzer, dan berhasil melemahkan dukungan publik.

Pembelaan publik pada 75 pegawai KPK yang tidak lolos TWK sangatlah dibutuhkan. Besar kemungkinan, 75 pegawai ini akan terus dipojokkan. Publik sebaiknya tidak terkecoh dengan upaya menormalkan tes yang janggal ini, ataupun dengan upaya memecah-belah 75 pegawai ini dengan 1.274 pegawai lain yang lolos TWK. Tes ini bukan seleksi siapa baik – siapa buruk. Tes ini adalah instrumen penyingkiran.

Perlawanan terhadap penyingkiran 75 pegawai KPK melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) bisa dikatakan sebagai perlawanan di garis batas benteng pertahanan terakhir KPK. Bila benteng ini tembus, semakin besar kemungkinan KPK ke depan untuk berubah haluan dan tidak lagi menjadi KPK yang dikenal dan dibanggakan oleh masyarakat Indonesia selama ini.

Menjaga Harapan

Situasi gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia memang sedang mendung. Upaya membela KPK terasa jumud, karena sepertinya segala upaya sudah dicoba. Namun rasa seperti itu perlu segera dibuang jauh. Gerakan pemberantasan korupsi, di manapun, bukanlah kegiatan yang sekali selesai. Serangan balik dari para koruptor dan pendukungnya, sudah barang tentu merupakan keniscayaan yang akan selalu terjadi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait