​​​​​​​Restrukturisasi Utang, Upaya Menghindari Kebangkrutan Akibat Pandemi Oleh: Ricardo Simanjuntak*)
Kolom

​​​​​​​Restrukturisasi Utang, Upaya Menghindari Kebangkrutan Akibat Pandemi Oleh: Ricardo Simanjuntak*)

​​​​​​​Secara strategi, langkah restrukturisasi dalam masa Covid-19 ini dapat dilakukan dengan tiga cara.

Bacaan 2 Menit

Sikap Pemerintah seperti tersebut di atas tidak hadir ketika  Krisis Moneter 1997 (Krismon) dan Krisis Global 2008 (Krisbal) melanda Indonesia. Walaupun Krismon dan Krisbal tersebut telah menimbulkan akibat yang super berat terhadap perekonomian Indonesia ketika itu, dasar pembelaan debitur melalui doktrin  force majeure tidak cukup kuat, karena Pemerintah Indonesia tidak pernah mendeklarasikan keadaan darurat perekonomian akibat Krismon atau Krisbal. Selain itu, bila mendasarkan pada ilustrasi Pasal 7.1.7 dari The Principles of International Commercial Contracts, digambarkan bahwa kenaikan harga objek jual beli  akibat dari kejatuhan nilai tukar, tidak dapat dikategorikan sebagai halangan memaksa force majeure, karena risiko kenaikan harga jual beli akibat kejatuhan nilai tukar mata uang merupakan risiko yang menjadi tanggungan para pihak berbisnis, yang seharusnya telah diperhitungkan ketika menyepakati kontrak.

Dasar pertimbangan yang sama juga menjadi dasar putusan Mahkamah Agung No.3087K/Pdt.2001 yang menolak Krismon sebagai dasar dari keberlakuan force majeure, karena kenaikan harga akibat dari pelemahan Rupiah terhadap US Dollar adalah risiko yang harus ditanggung oleh developer dalam menyelesaikan pembangunan apartemen yang dijanjikannya tepat waktu. (Baca: Perbankan Awasi ‘Penumpang Gelap’ dalam Restrukturisasi Utang)

Lebih jauh, walaupun pandemi Covid-19  dapat dijadikan sebagai dasar keberlakuan doktrin force majeure, haruslah terlebih dahulu dipastikan bahwa ‘halangan memaksa’ yang mengakibatkan ketidakmampuan pelaku usaha untuk melaksanakan prestasi yang dijanjikannya, secara langsung memang diakibatkan oleh pandemi Covid-19. Doktrin force majeure tidak dapat digunakan jika kegagalan berprestasi tersebut tidak berhubungan dengan Covid-19. Misalnya: terbukti bahwa pelaku usaha tersebut ternyata telah wanprestasi sebelum Covid-19 terjadi, atau ketidakmampuan debitur untuk membayar utangnya ternyata akibat dari tindakan penyalahgunaan dana pinjaman (loan) yang diperolehnya. Contoh ketidakmampuan melaksanakan prestasi tersebut tidak disebabkan oleh Covid-19.  

Pertimbangan hukum yang sama telah menjadi dasar penolakan MA dalam putusan Pengadilan Niaga No. 835K/Pdt.Sus/2012, yang menyatakan bahwa ketidakmampuan dari pengembang untuk menyerahkan unit apartemen sesuai dengan yang dijanjikannya dalam perjanjian, bukan diakibatkan oleh Krismon yang melanda Indonesia, akan tetapi akibat keteledoran dari pengembang yang tidak menyelesaikan permasalahan ijin lingkungan dan keamanan pada area pembangunan apartemen sejak awal, yang mengakibatkan penduduk sekitar yang merasa terganggu terus berdemonstrasi dan memblokade pembangunan apartemen tersebut.

Selain itu, harus pula dibuktikan apakah sifat ‘halangan  memaksa’ yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 adalah bersifat permanen atau bersifat sementara. Menurut Prof. Subekti (Hukum Perjanjian 2005), force majeure yang bersifat permanen akan mengakibatkan musnahnya objek perjanjian, sehingga dapat menimbulkan akibat pembatalan perjanjian tanpa harus membebankan akibat ganti rugi pada masing-masing pihak berkontrak. Sedangkan bila bersifat temporer, memungkinkan untuk dilakukan mitigasi potensi kerugian akibat pembatalan kontrak, melalui langkah rescheduling atau restructuring dari perjanjian tersebut.

Untuk beberapa hubungan hukum yang bersifat jangka pendek, misalnya kesepakatan penggunaan transportasi udara, laut atau darat, pemerintah misalnya, berdasarkan Permenhub No.25 Tahun 2020 telah membuka opsi pengembalian harga tiket akibat dari pembatalan jadwal penerbangan sebagai akibat pelaksanaan PSBB, apabila calon penumpang tidak bersedia untuk mereschedule penerbangan tersebut, misalnya atas alasan bahwa peristiwa yang mendasari penggunaan alat transpotasi tersebut sudah selesai atau tidak mungkin untuk ditunda atau diulang, misalnya; penerbangan yang dilakukan untuk mengunjungi acara pemberkatan pernikahan.

Secara khusus, berdasarkan Peraturan OJK No. 11 Tahun 2020 pemerintah juga telah membuka kesempatan bagi pelaku-pelaku usaha kecil dan menengah untuk mendapatkan kesempatan untuk merestrukturisasi utangnya kepada pihak perbankan atau perusahaan pembiayaan tempatnya meminjam atau memperoleh fasilitas, dengan alasan dengan kewajiban pembuktian bahwa ketidakmampuannya untuk menjalankan kewajiban pembayaran cicilan utang memang disebabkan oleh Pandemi Covid-19. (Baca: Masih Ada Multitafsir Restrukturisasi Utang Bagi Debitur Terdampak Covid-19)

Tags:

Berita Terkait