​​​​​​​Restrukturisasi Utang, Upaya Menghindari Kebangkrutan Akibat Pandemi Oleh: Ricardo Simanjuntak*)
Kolom

​​​​​​​Restrukturisasi Utang, Upaya Menghindari Kebangkrutan Akibat Pandemi Oleh: Ricardo Simanjuntak*)

​​​​​​​Secara strategi, langkah restrukturisasi dalam masa Covid-19 ini dapat dilakukan dengan tiga cara.

Bacaan 2 Menit

Revisi UU Kepailitan, sebagai upaya untuk untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia dari keterpurukan Krismon tahun 1998, menekankan tentang pentingnya langkah restrukturisasi sebagai upaya penyelamatan debitur (debtors rescue) yang masih layak untuk diselamatkan. Walaupun fasilitas  restrukturisasi utang tidak sebanyak yang dimiliki oleh Hukum Kepailitan Singapura atau negara-negara Common Law lainnya, UU  Kepailitan menyediakan dua cara bagi debitur untuk dapat mengajukan  permohonan  restrukturisasi, yaitu; 1). melalui permohonan PKPU berdasarkan Pasal 222 UU Kepailitan,  atau, 2). melalui pengajuan usulan perdamaian setelah debitur dinyatakan pailit berdasarkan Pasal 144 Undang-undang yang sama.

Selanjutnya, langkah pengajuan permohonan restrukturisasi utang melalui PKPU dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu; 1). Debitur dapat mengajukan permohonan PKPU terhadap dirinya sendiri secara  sukarela (voluntary PKPU) berdasarkan Pasal 222 Ayat (1) UU Kepailitan, atau, 2). Mengajukan PKPU sebagai reaksi terhadap pengajuan permohonan pailit yang diajukan oleh krediturnya berdasarkan Pasal 229 ayat (3), atau 3). Pengajuan permohonan PKPU oleh kreditur terhadap debitur tersebut berdasarkan Pasal 222 ayat (3) UU Kepailitan.

Berbeda dengan kedua strategi restrukturisasi berbasis business to business yang dijelaskan sebelumnya di atas, pemohonan restrukturisasi utang melalui PKPU secara otomatis berpengaruh terhadap hak tagih dari seluruh kreditur yang dimiliki oleh  debitur pemohon PKPU. Artinya, ketika permohonan PKPU yang diajukan debitur diterima  Pengadilan Niaga, maka suka atau tidak suka, seluruh kreditur yang ada tidak lagi dapat melakukan penagihan utang, mengajukan gugatan perdata, tindakan eksekusi, termasuk eksekusi jaminan kebendaan oleh kreditur separatis, selama maksimum 270 hari atau selama masa PKPU. Artinya, secara hukum, langkah untuk melakukan restrukturisasi utang dilakukan bersama-sama (collective restructuring) dengan seluruh kreditur yang telah mendaftar tepat waktu dan membuktikan keabsahan piutangnya.

Karena langkah restrukturisasi melalui UU Kepailitan berakibat collective restructuring, maka hasil dari dukungan mayoritas kreditur melalui pemungutan suara (voting) akan mengikat seluruh kreditur baik yang menolak dalam voting atau yang tidak mendaftarkan tagihan, atau tidak memberikan suara dalam rapat pemungutan suara tersebut berdasarkan Pasal 286 dan Pasal 162 UU Kepailitan,  kecuali terhadap kreditur separatis yang menolak kesepakatan restrukturisasi utang tersebut.

Memang, tidak dipungkiri bahwa pengajuan proposal restrukturisasi melalui mekanisme UU Kepailitan, dapat mengakibatkan deklarasi insolvent oleh Pengadilan Niaga, apabila permohonan restrukturisasi tersebut ditolak oleh mayoritas krediturnya. Akan tetapi, konsekuensi yang sama juga akan terjadi jika mekanisme penyelesaian atas fakta ketidakmampuan debitur untuk melunasi utang-utangnya terhadap krediturnya diselesaikan diluar mekanisme yang disediakan oleh UU Kepailitan, karena fakta ketidakmampuan tersebut akan memicu langkah hukum yang tidak berhenti dari berbagai kreditur yang dimilikinya, termasuk langkah eksekusi jaminan kebendaan yang dimiliki kreditur separatis, yang akan mengakibatkan ketergangguan aktivitas bisnis yang lebih dalam dan memburuk lagi bagi debitur tersebut.

Tidak dipungkiri bahwa walau dalam masa waktu 20 tahun implementasi reformasi UU Kepailitan  Indonesia, masih sangat diperlukan perbaikan-perbaikan, khususnya terhadap peningkatan jumlah fasilitas dan mekanisme restrukturisasi utang melalui UU No. 37 Tahun 2004 yang dapat menjamin kepastian kualitas, trasparansi objektivitas dan mekanisme pelaksanaan, kejujuran dan kepastian hukum, akan tetapi hingga saat ini bagi debitur-debitur yang memang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajibannya (melunasi utang-utangnya) saat ini, baik atas alasan Covid-19 atau tidak, akan tetapi meyakini bahwa ketidakmampuan tersebut sebenarnya hanyalah bersifat temporer (temporary shortage of cash flow to pay debts), maka cara yang lebih efektif dalam menghadapi jumlah kreditur yang banyak adalah dengan menggunakan fasilitas restrukturisasi yang disediakan oleh UU No. 37 tahun 2004. Demikian pula halnya bagi kreditur agar sebaiknya mempertimbangkan langkah restrukturisasi utang sebagai alternatif untuk mendapatkan pembayaran piutang pada jumlah yang lebih baik.

*)Dr. Ricardo Simanjuntak, SH.LL.M,ANZIIF.MCIArb, Wakil Ketua Umum PERADI dan Ketua Dewan Sertifikasi AKPI

Catatan Redaksi:

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan bagian dari Kolom 20 Tokoh menyambut Ulang Tahun Hukumonline yang ke-20.

Tags:

Berita Terkait