Tuntut Minimal Penyerang Novel, Jaksa Dinilai Abaikan Kebenaran Materiil
Utama

Tuntut Minimal Penyerang Novel, Jaksa Dinilai Abaikan Kebenaran Materiil

Kerja-kerja Jaksa (dalam kasus ini) harusnya extra effort law enforcement.

Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

“Dari sinilah baru bisa dirunut Pasal 55 tentang turut serta yang pada ujungnya di pengadilan akan mencari kebenaran dan menemukan intelektual dader yang menjadi man behind the gun atau sutradara sebenarnya,” ungkap Rizqi.

Menciderai Rasa Keadilan

Sementara itu, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Giri Akhmad Taufik melalui keterangannya menyatakan, tuntutan minimal jaksa kepada pelaku penyiraman Novel telah mencederai rasa keadilan. Tuntutan tersebut tidak mencerminkan prinsip negara hukum yang baik dan peradilan yang tidak memihak.

Oleh karena itu, Giri menilai tuntutan dengan pidana rendah telah memberikan preseden yang kontraproduktif terhadap perlindungan aparat penegak hukum Indonesia, yang berpotensi melahirkan kekerasan-kekerasan lainnya bagi aparat penegak hukum, utamanya pegawai KPK. “Tuntutan minimum tersebut juga tidak berkesuaian dengan hukum yang ada,” ujar Giri.

Giri menygatakan kesengajaan harusnya dibuktikan dengan unsur mengetahui dan menghendaki. Adanya unsur perencanaan dalam proses tindak pidana dan pengunaan air keras, telah mengindikasikan adanya kesadaran dari pelaku bahwa menyiramkan air keras kepada seseorang pasti akan menyebabkan luka berat pada tubuh. 

Oleh karena itu, Giri menyebutkan hakim memiliki kebebasan untuk menilai fakta dan hukum yang disajikan dari persidangan berdasarkan dakwaan yang diberikan, sebagaimana ditegaskan dalam Putusan MA Nomor 510 K/Pid.Sus/2014, Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013, Nomor 68 K/Kr/1973, dan Nomor 47 K/Kr/1956. 

Sementara, Badan Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) dalam pernyataan tertulis yang diterima hukumonline, Minggu (14/6), menyatakan setidaknya ada tiga hal fundamental yang terlanggar secara fatal terhadap tuntutan yang diajukan JPU. Pertama, tuntutan JPU minus kepentingan keadilan bagi korban. Tidak terlihat fakta dan bukti signifikan yang merepresentasikan keadilan bagi korban. Dampak kebutaan, pengobatan tahunan, tidak dapat berkegiatan secara normal, seolah tidak dipertimbangkan sebagai indikator dalam menentukan tuntutan.

Kedua, JPU justru terlihat seolah-olah seperti Pengacara Terdakwa. Pembuktian JPU menegaskan bahwa perbuatan Para Terdakwa tidak direncanakan termasuk dampaknya. Hal ini justru jadi indikator tuntutan yang meringankan Para Terdakwa. Nyaris tidak ada pembuktian yang diarahkan pada fakta sebenarnya bahwa ada perencanaan dan perbuatan yang sesuai rencana.

Ketiga, JPU menghilangkan dampak lebih luas, yakni gangguan terhadap pemberantasan korupsi. Fakta bahwa Novel /Baswedan adalah aparat penegak hukum yang berprestasi dalam mengungkap kasus mega korupsi tidak jadi pertimbangan. Tuntutan JPU mengancam pemberantasan korupsi karena tidak mencerminkan jaminan keadilan bagi aparat penegak hukum pemberantasan korupsi. 

Atas dasar hal-hal di atas, PBHI menyarankan agar Presiden mengevaluasi secara menyeluruh aparat Kepolisian dan Kejaksaan, serta penanganan dan proses hukum Kasus Penyiraman Air Keras terhadap Novel Baswedan, baik dari penyelidikan hingga penuntutan. Kemudian, meminta DPR menjadikan proses peradilan pada kasus Novel Baswedan sebagai momentum bagi perbaikan dalam sistem peradilan pidana yang lebih menjamin kepentingan keadilan bagi Korban.

“Majelis Hakim agar mengesampingkan tuntutan JPU, dengan mempertimbangkan fakta sebenarnya dengan memperhatikan dampak bagi korban dan nasib pemberantasan korupsi ke depan, untuk menjatuhkan hukuman yang maksimal,” tulis pernyataan PBHI.

Tags:

Berita Terkait