Menurut Uceng Presiden Jokowi harusnya menjauhkan diri dari kampanye selama Pemilu 2024 mengingat salah satu Cawapres merupakan anaknya. Selain berbenturan dengan regulasi, hal itu juga tidak bisa diterima dalam etika politik. Padahal, beberapa bulan lalu, Presiden Jokowi memerintahkan jajaran aparat pemerintahan baik pemerintah pusat, daerah, aparatur sipil negara (ASN), Polri dan TNI untuk netral. Tapi pernyataan belum lama ini malah menyatakan sebaliknya karena menyebut pejabat publik, seperti Presiden dan Menteri boleh berkampanye dan memihak dalam Pemilu 2024.
Sebelumnya, Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti mengingatkan Pasal 282 UU 7/2017 mengatur pejabat negara dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama kampanye.
Selanjutnya, Pasal 283 menegaskan pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye.
Dengan begitu, menurut Bivitri, sikap Presiden Jokowi yang menyatakan pejabat publik boleh berkampanye juga berpotensi melanggar berbagai aturan tersebut. Bahkan, membuka ruang untuk mendorong ke arah pemakzulan sebagaimana diatur Pasal 7A UUD 1945. Tapi tidak mudah itu karena ada mekanisme yang harus dilalui antara lain melalui DPR dan Mahkamah Konstitusi (MK).