Bangunlah Infrastrukturnya, Bangunlah Hukumnya
Kolom

Bangunlah Infrastrukturnya, Bangunlah Hukumnya

Pembangunan infrastruktur fisik dan hukum adalah komponen-komponen yang tidak dapat dipisahkan dalam memajukan negara.

Frans Hendra Winarta (kiri) dan  Viyoneta Purnama (kanan). Foto: Istimewa
Frans Hendra Winarta (kiri) dan Viyoneta Purnama (kanan). Foto: Istimewa

Negara hukum atau biasa disebut sebagai rechtsstaat merupakan konsep bernegara yang biasa digunakan oleh negara-negara Eropa Kontinental. Wolfgang Friedmann menjelaskan bahwa rechtsstaat memiliki pengertian pembatasan kekuasaan oleh negara hukum. Friedrich Julius Stahl pun menjabarkan bahwa negara hukum formalnya memiliki empat unsur atau ciri-ciri, yaitu adanya perlindungan Hak Asasi Manusia, adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan, adanya pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan dan adanya peradilan administratif yang bebas dalam perselisihan.

Pada negara hukum, hukum dijadikan pedoman bagi kehidupan warga negara dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Ini sejalan dengan pendapat Soediman Kartohadiprojo bahwa hukum sangat besar artinya bagi kehidupan manusia yang bernegara. Ia juga menambahkan bahwa hukum, manusia, dan negara mempunyai pertalian yang erat satu sama lain yang tidak dapat dipisahkan. Nyatanya baik hukum maupun negara sama-sama menyangkut kehidupan manusia.

Baca juga:

Indonesia diyakini oleh beberapa ahli sebagai negara hukum seperti apa yang dijabarkan oleh Utrecht dan Muhammad Yamin. Keduanya menyebutkan dengan tegas bahwa “negara kita merupakan negara hukum.” Dituturkan oleh Prof.Dr.Sudargo Gautama bahwa Republik Indonesia adalah negara yang melaksanakan keadilan yang dituliskan dalam undang-undang, yang dibuat oleh lembaga-lembaga negara yang sah, dan mendapatkan penyerahan kekuasaan sementara dari kekuasaan tertinggi yang ada pada tangan rakyat Indonesia.

Sesuai dengan pengertian dan unsur negara hukum yang telah dipaparkan di atas, Indonesia memang termasuk ke dalam negara hukum demokratis. Hal ini pun sejalan dengan Pasal 1 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945 perubahan ke-3, yang menyatakan, “(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. (3) Negara Indonesia adalah negara hukum”.

Belum Tercapai

Namun, pada era ini, negara hukum (rechtsstaat) di Indonesia masih hanya terlihat sebagai angan-angan yang tujuannya belum tercapai. Indonesia yang dikatakan sebagai negara hukum, justru nyatanya belum memberikan kepastian hukum yang konkret. Sebagai contoh, dalam proses berperkara di pengadilan ada istilah “putusan yang telah berkekuatan hukum”/final and binding/in kracht van gewijsde. Teorinya, perkara tersebut sudah dapat dieksekusi jika telah sampai tahap kasasi yang diputus oleh Mahkamah Agung. Final and binding memberikan kepastian hukum kepada para pihak baik yang kalah maupun menang. Namun, praktiknya, masih bisa dilakukan upaya hukum terhadap putusan Mahkamah Agung tersebut dengan Peninjauan Kembali.

Apabila permohonan Peninjauan Kembali dikabulkan, hal tersebut seperti menganulir putusan kasasi sebelumnya yang sudah berkekuatan hukum tetap. Contoh lain, tidak sedikit putusan yang sudah berkekuatan hukum pun tetap sulit untuk dieksekusi. Tersedia upaya hukum lain yaitu perlawanan terhadap sita eksekusi putusan pengadilan. Ini membuat putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap saja tidak bisa langsung dieksekusi.

Tags:

Berita Terkait