Pengaruh Covid-19 Sebagai Force Majeure Terhadap Hubungan Kerja
Kolom

Pengaruh Covid-19 Sebagai Force Majeure Terhadap Hubungan Kerja

Apabila bencana nasional menimbulkan dampak kerugian bagi perusahaan, yang ideal mengatakan perusahaan mengalami force majeure adalah perusahaan itu sendiri.

Bacaan 2 Menit

 

Masalah Covid-19 menimbulkan tiga peristiwa baru di dalam hubungan kerja, yaitu: 1) Pekerja dirumahkan bukan karena dikehendaki oleh pengusaha; 2) Pekerja dirumahkan bukan karena keinginan atau karena pekerja melakukan pelanggaran; 3) Pekerja dirumahkan dan perusahaan tidak berproduksi karena sama-sama melaksanakan perintah atau himbauan dari pemerintah. Ketika ketiga hal itu terjadi sedemikian rupa, apakah pengusaha wajib membayar upah selama dirumahkan? Apakah pekerja beralasan mengkualifisir dirinya menjalankan tugas negara?

 

Seandainya pemerintah merekrut pekerja dari suatu perusahaan untuk menjadi relawan   menghadapi Covid-19 mengakibatkan pekerja itu berhalangan masuk bekerja, maka pekerja tersebut bisa dikualifikasi menjalankan tugas negara. Sebaliknya, ketika pekerja dirumahkan dan berdiam diri di dalam rumah, tidak cukup alasan mengkualifisirnya menjalankan tugas negara. Kalau pekerja mengaku menjalankan tugas negara, perusahaan pun bisa mengemukakan claim yang sama. Sejalan dengan itu, meskipun ketentuan di bawah ini bersifat fakultatif, ketika pekerja dirumahkan karena perusahaan mentaati perintah atau himbauan pemerintah mencegah penyebaran Covid-19, perusahaan berpeluang menerapkan Pasal 93 ayat (1) UUK juncto Pasal 24 ayat (1) PP No. 78 tahun 2015.  

 

Ketika perusahaan menerapkan ketentuan di atas, perusahaan berpeluang melakukan salah satu dari empat hal  ini: (1) Membayar upah pokok dan tunjangan tetap, tetapi tidak membayar tunjangan tidak tetap; (2) Membayar upah pokok, tetapi tidak membayar seluruh jenis tunjangan; (3) Memotong upah pokok tanpa membayar tunjangan-tunjangan; (4) Tidak membayar upah. Sedikit berbeda dengan WFH. Pekerja yang menjalani WFH, berhak atas upah, tetapi beralasan tanpa tunjangan tidak tetap (T3).

 

Ketika perusahaan menerapkan Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dan Pasal 24 ayat (1) PP 78/2015 sebagai rujukan tidak membayar upah bagi pekerja yang dirumahkan, menuduh perusahaan melakukan pelanggaran hukum, merupakan hal yang sulit. Alasannya sebagai berikut: a) Kedua ketentuan di atas merupakan hukum positif, perusahaan dapat menerapkannya terhadap peristiwa konkret; b) Perusahaan merumahkan pekerja karena mentaati perintah atau himbauan  pemerintah yang sedang berupaya menghentikan penyebaran Covid-19; c) Kalau pekerja tidak dirumahkan: perusahaan bisa dituduh menghambat pencegahan penyebaran Covid-19 dan mengancam keselamatan jiwa pekerja dan keluarganya, serta masyarakat luas; d) Ketika pekerja dirumahkan, dan produksi berhenti atau dikurangi, perusahaan mengalami kerugian; e) Perusahaan dan pekerja sama-sama mengabdi pada kepentingan umum/negara.

 

Menghadapi Covid-19, peluang pengusaha merumahkan pekerja, memotong atau tidak membayar upah pekekerja, mengubah cara pembayaran upah, rekomendasinya tersedia pada butir II.4 SE Kemnaker Nomor M/3/HK.04/III/2020. Melihat waktu dan alasan terbitnya SE tersebut, maka SE Nomor SE-05/M/BW/1998, bukan rujukan untuk menghadapi akibat Covid-19.

 

Konten kedua SE itu terkesan mirip, pada hal berbeda. Masing-masing terbit dengan latar belakang yang berbeda. SE Nomor M/3/HK.04/III/2020 merupakan antisipasi pemerintah terhadap dampak pencegahan Covid-19, sedangkan SE Nomor 05/M/BW/1998, terbit akibat resesi ekonomi pada tahun 1998. Melihat substansi butir II.4 SE Kemnaker Nomor M/3/HK.04/III/2020, SE ini identik sebagai ungkapan untuk mengatakan bahwa hukum tidak berlaku dalam keadaan darurat (necessitas non habet legem), dan hal yang darurat menghapus hukum (necessitas vincit legem).

 

Seandainya perusahaan menerapkan butir II.4 SE Kemnaker Nomor M/3/HK.04/III/2020, apakah perusahaan dan pekerja mampu menemukan solusi? Melihat masalahnya, potensi solusi yang bisa disepakati ada dua, yaitu memotong upah atau menghentikan pembayaran upah. Kalau perusahaan diharuskan membayar seluruh upah, sementara kondisi pandemik tidak diketahui pasti kapan akan berakhir, perusahaan bisa menganggap itu sebagai ancaman terhadap kelangsungan usahanya. Selanjutnya, ketika perundingan dilakukan untuk membicarakan penghentian pembayaran upah, negosiasi berikutnya ada dua pilihan, yaitu mempertahankan hubungan kerja tanpa membayar/menerima upah, atau perusahaan dan pekerja sepakat mengakhiri hubungan kerja (PHK).

Tags:

Berita Terkait