Pengaruh Covid-19 Sebagai Force Majeure Terhadap Hubungan Kerja
Kolom

Pengaruh Covid-19 Sebagai Force Majeure Terhadap Hubungan Kerja

Apabila bencana nasional menimbulkan dampak kerugian bagi perusahaan, yang ideal mengatakan perusahaan mengalami force majeure adalah perusahaan itu sendiri.

Bacaan 2 Menit

 

Mengingat pekerja dirumahkan karena perusahaan dan pekerja membantu pemerintah mencegah penyebaran Covid-19, dan berbagai peraturan di atas mengatakan Covid-19 menimbulkan keadaan darurat, maka merupakan tindakan heroik ketika pekerja menyampaikan kepada perusahaan kesediaannya mempertahankan hubungan kerja meskipun upahnya tidak dibayar selama dirumahka. Sekadar bahan perenungan, pasca penanganan Covid-19, proses recovery ekonomi, produksi perusahaan, membutuhkan waktu yang tidak singkat.

 

PHK

Perusahaan merumahkan pekerja, operasional dan produksi dipastikan berhenti. Dampaknya, perusahaan kehilangan pendapatan. Kalau penanganan Covid-19 selesai dalam waktu 1 atau 2 minggu, barangkali perusahaan i memiliki amunisi untuk bertahan. Kalau produksi berhenti sampai hitungan bulan, perusahaan akan menghadapi masalah.

 

Relevan dengan uraian di atas, apakah di tengah badai Covid-19 perusahaan akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK)? Pada umumnya, perusahaan memiliki ketahanan finansial yang berbeda-beda. Perusahaan yang cash flow atau likuiditasnya (terancam) kronis akibat Covid-19, berpeluang melakukan PHK. Di dalam konsepsi hukum ketenagakerjaan, kunci utamanya adalah alas an PHK. Kalau alasan tidak melanggar UU, hukum membolehkan PHK.

 

Ketika perusahaan melakukan PHK di tengah pandemi Covid-19, apakah tindakan itu melanggar hukum? Untuk menemukan jawabannya, harus lebih dulu memperhatikan alasan PHK-nya. Kalau alasannya bukan hal-hal sebagaimana dilarang dalam Pasal 153 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, maka PHK boleh dilakukan. Selanjutnya, untuk menilai legalitas PHK, cukup memperhatikan dua hal, yaitu alasan dan kompensasi. Kalau rumus perhitungan kompensasi sudah sesuai dengan alasan PHK, maka PHK sulit ditolak.

 

Merujuk pada norma dan praktik peradilan, bipartit bukan forum legalisasi perselisihan hubungan industrial, termasuk PHK. Kadang bipartit dianggap sebagai formalitas prosedur. Akibatnya bipartit tidak bisa digunakan menghentikan PHK atau rencana perusahaan. Meskipun bipartit wajib dilakukan, tetapi tidak wajibn menghasilkan kesepakatan. Kalau para pihak bertekad menyelesaikan perselisihan di dalam bipartit, karakter yang tampak selama ini, forum itu dimanfaatkan maksimal. Sebaliknya, Ketika bipartit dianggap tidak efektif, forum itu sekadar dilalui begitu saja. Oleh karena itu, praktik penyelesaian perselisihan hubungan industrial memposisikan bipartit bukan forum legalisasi PHK. Sebagian putusan pengadilan mengatakan hubungan kerja berakhir sejak hakim membacakan putusan atau sejak perusahaan melakukan PHK. Sebagian lainnya mengatakan hubungan kerja berakhir sejak mediator menerbitkan anjuran atau sejak pekerja mengundurkan diri.

 

Force Majeur

Relevan dengan Covid-19 dan Keppres 12 Nomor 2020, apa alasan krusial melakukan PHK? Alasan PHK itu selalu berkaitan dengan kompensasi. Ketika perusahaan menghentikan operasional dan merumahkan pekerja, perusahaan tentu kehilangan sumber pendapatan. Merespons situasi seperti itu, ketika termotivasi melakukan PHK, kemungkinan alasan yang dipilih perusahaan bukan karena merugi atau efisiensi.   

 

Kalau pencegahan Covid-19 mengakibatkan perusahaan rugi karena produksi, distribusi, order, dan sebagainya berhenti, perusahaan sangat mungkin mengatakan sulit mempertahankan hubungan kerja. Ketika pilihan itu tidak bisa dihindari, perusahaan akan mencari peluang melakukan PHK dengan alasan force majeure. Dalam konteks PHK, force majeure atau merugi sebagai alasan PHK, bisa dikaitkan dengan kompensasi, keduanya mengandung konsekuensi yang sama.

Tags:

Berita Terkait