Pengaruh Covid-19 Sebagai Force Majeure Terhadap Hubungan Kerja
Kolom

Pengaruh Covid-19 Sebagai Force Majeure Terhadap Hubungan Kerja

Apabila bencana nasional menimbulkan dampak kerugian bagi perusahaan, yang ideal mengatakan perusahaan mengalami force majeure adalah perusahaan itu sendiri.

Bacaan 2 Menit

 

Namun demikian, antara force majeure dan merugi, terdapat persyaratan hukum yang berbeda. Kalau alasan PHK mengatakan perusahaan rugi akibat Covid-19, berpotensi muncul debat mengatakan perusahaan wajib menyajikan hasil audit dari akuntan publik. Melihat sisi praktisnya, kalau kerugian itu benar-benar timbul karena dampak Covid-19, perusahaan lebih berpeluang mengatakan force majeure.

 

Selanjutnya, untuk mengatakan Covid-19 menimbulkan keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud pada Pasal 164 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, perusahaan wajib mengatakan Covid-19 sebagai bencana yang timbul dari luar kekuasaannya dan tidak memiliki kemampuan untuk mengatasinya. Untuk mendukung pernyataan seperti itu, perusahaan bisa saja merujuk pada Kepres No. 12 tahun 2020, Keppres No. 11 Tahun 2020, PP No. 21 tahun 2020  dan UU No. 24 Tahun 2007. Produk hukum itu menyimpulkan Covid-19 sebagai bencana nonalam berskala nasional (bencana nasional). Bencana di dalam UU No. 24 Tahun 2006 dibagi tiga yaitu bencana alam, bencana nonalam dan bencana sosial.

 

Setiap bencana mengakibatkan kedaruratan. Kalau timbul gangguan operasional pemasaran, likuiditas, cash flow, produksi berhenti atau dibatasi, dan lain-lain sebagai akibat dari Covid-19, perusahaan berpeluang mengatakan kondisi itu sebagai keadaan memaksa atau force majeure untuk melakukan PHK.

 

Selain berdasarkan norma hukum di atas, norma hukum berikut berpeluang mendukung perusahaan mengatakan force majeure, yaitu:

  1. Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) Nomor HK.01.07/Menkes/239/2020, tanggal 7 April 2020, tentang Penetapan Sosial Berskala Besar Di Wilayah Propinsi DKI Jakarta Dalam Rangka Percepatan Penangaan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Salah satu konsiderans mengingat dari KMK ini adalah UU No. 24 tahun 2007. 
  2. UU No. 6 tahun 2018  tentang Kekarantinaan Kesehatan.
  3. Keputusan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 9.A Tahun 2020 tentang Penetapan Status  Keadaan tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia ; Keputusan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 13.A Tahun 2020, tanggal 29 Februari 2020, tentang Perpanjangan Status  Keadaan tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia.
  4. Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020, tanggal 17 Maret 2020. Kalau Kemnaker tidak menilai Covid-19 sebagai bencana, SE tidak mungkin memberi peluang kepada pengusaha melakukan perubahan besaran upah dan cara pembayarannya. 
  5. Keputusan Dirjen Pajak No. Kep-156/PJ/2020, tanggal 20 Maret 2020.  
  6. Surat Disnakertrans Kabupaten Karawang Nomor : 568/2308/HIPK, tanggal 26 Maret 2020. Nomor 8 dan nomor 9  mengatakan menyebaran Covid-19 sebagai force majeur.    

 

Siapa yang berwenang mengatakan perusahaan mengalami force majeure? UU tidak memberi jawaban atas pertanyaan itu. Apabila bencana nasional menimbulkan dampak kerugian bagi perusahaan, yang ideal mengatakan perusahaan mengalami force majeure adalah perusahaan itu sendiri. Pemerintah tidak akan mengatakan secara eksplisit Covid-19 sebagai force majeure bagi semua perusahaan.

 

Pengakuan pemerintah akan adanya force majeure di perusahaan akan diimplementasikan ke dalam bentuk kebijakan yang dianggap bisa meringankan beban perusahaan dan pekerja seperti halnya mengurangi beban pajak, membolehkan perusahaan mengubah besaran upah dan cara pembayarannya, serta memberikan bantuan kepada pekerja yang mengalami PHK akibat pencegahan Covid-19.

Tags:

Berita Terkait