Suap Hakim Masih Marak, Salah Siapa?
Fokus

Suap Hakim Masih Marak, Salah Siapa?

MA menganggap pihaknya telah berupaya maksimal mencegah terjadinya korupsi di pengadilan. Sedangkan para aktivis peradilan menganggap Ketua MA Hatta Ali harus bertanggung jawab.

Aji Prasetyo/Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Berbeda dengan MA yang menganggap hakim yang menerima suap merupakan kesalahan individu. Koalisi beranggapan pelanggaran yang masih terjadi di lingkungan peradilan harusnya menjadi tanggung jawab pucuk pimpinan tertinggi yakni Ketua MA Hatta Ali.

 

“Kembali tertangkapnya hakim dan panitera dalam perkara korupsi menunjukkan kegagalan ketua MA. Di masa kepemimpinan Hatta Ali sebagai ketua MA, kepercayaan publik terhadap MA justru semakin menurun karena banyaknya hakim dan panitera yang ditangkap oleh KPK semenjak 2 tahun terakhir. Hal yang wajar jika masyarakat meminta Hatta Ali mundur sebagai Ketua MA karena gagal memimpin MA,” pinta Koalisi dalam siaran persnya yang diterima Hukumonline.

 

Pintu celah korupsi di lembaga pengadilan menurut koalisi yang terbuka cukup lebar dianggap imbas dari lemahnya pengawasan dan rendahnya komitmen Ketua MA dalam membenahi integritas pengadilan. Apalagi korupsi di pengadilan juga tidak hanya terjadi dalam konteks jual beli perkara saja. Pada 2017, MaPPI FHUI telah merilis potensi praktik pungutan liar di pengadilan negeri.

 

Sebagai lembaga yang juga terikat dengan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan SK KMA 026/KMA/SK/II/2012 terkait layanan publik, MaPPI FHUI masih menemukan banyaknya praktik pungutan liar di wilayah Jakarta, Medan, Banten, Bandung, Yogyakarta dan Malang.

 

“Praktiknya masih banyak pihak yang dikenakan sejumlah biaya tidak resmi di pengadilan guna mendapatkan layanan pendaftaran surat kuasa dan layanan mendapatkan salinan putusan. Bahkan penyumpahan saksi dan ahli, tidak terlepas yang dialami pengacara-pengacara di 15 kantor LBH-YLBHI. Modus yang sering digunakan antara lain, menetapkan biaya dil uar ketentuan dan tidak dibarengi dengan tanda bukti bayar, tidak menyediakan uang kembalian, sebagai imbalan atau uang lelah dan memperlama layanan jika tidak diberikan tip/uang yang diminta. Besaran yang diminta pun beragam, mulai dari Rp10 ribu hingga Rp100 ribu,” ujar Koalisi.

 

Praktik tersebut juga menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat akan institusi peradilan dan lemahnya komitmen MA dalam hal pemberantasan korupsi yang sebenarnya sudah ditetapkan dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, SK-KMA Nomor 26 Tahun 2012 tentang Standar Pelayanan Publik, Maklumat Nomor 01/Maklumat/KMA/IX/2017 tentang Pengawasan dan Pembinaan Hakim, Aparatur MA, dan Badan Peradilan di Bawahnya.

 

Karena itu, Koalisi mendesak agar Ketua MA Hatta Ali bertanggung jawab atas kondisi lembaga pengadilan dengan segera mundur dari jabatannya karena terbukti gagal memimpin upaya pemberantasan korupsi di MA dan peradilan dibawahnya. Kemudian meminta MA untuk mengoptimalkan Maklumat Nomor 01/Maklumat/KMA/IX/2017 untuk mempersempit celah korupsi di pengadilan.

Tags:

Berita Terkait