The Prince
Tajuk

The Prince

Hari-hari mendatang sungguh mencemaskan, di sini, di negara yang dibangun oleh para pendiri Republik ini sebagai negara milik semua kawula, bukan milik para pangeran.

Oleh:
Arief T Surowidjojo
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Dari praktik politik yang sekarang kita saksikan bermunculan di berbagai penjuru dunia, tidak terkecuali kita di sini, kita dipaksa mengingat kembali anjuran atau mungkin satir di dalam “The Prince”, suatu diskursus politik yang digagas Niccolo Machiavelli, seorang diplomat, penyair sekaligus filsuf politik di Republik Florentina pada abad ke 16, yang pada intinya berisi anjuran kepada para penguasa ningrat tentang bagaimana caranya untuk berkuasa, dan terus melanjutkan kekuasaannya secara efektif.

Singkatnya, Machiavelli menggambarkan bagaimana penguasa otoriter seharusnya mengatur negerinya agar langgeng dan kuat, yaitu dengan menerapkan gaya ketegasan, mengumbar kekejaman, dan disertai pula dengan manipulasi. Interpretasi lain dari sejumlah studi mengatakan bahwa Machiavelli sebenarnya dalam The Prince sedang melakukan sekadar “pro-democracy satire”.

Menurut Machiavelli, seorang penguasa akan sering dihadapkan pada pertanyaan, apakah dalam memerintah lebih penting untuk seorang pangeran atau penguasa ditakuti atau dicintai oleh kawulanya. Menurutnya lebih penting bagi seorang penguasa untuk ditakuti daripada dicintai, dan untuk itu seorang penguasa perlu untuk melakukan segala upaya apapun untuk memelihara bahkan meningkatkan kekuasaannya, kalaupun itu harus dilakukan dengan cara-cara yang melanggar moral, demi tujuan akhirnya untuk meraih kejayaan.

Ide utama dari anjuran ini: “leaders should always mask their true intentions, avoid inconsistency, and frequently act against mercy, against faith, against humanity, against frankness, against religion, in order to preserve the state”. Dan juga “The ends justify - no matter how immoral - the means for preserving political authority.” (John O. Rourke, Boston University, 2013).

Filsuf dan pemenang hadiah Nobel Bertrand Russel pernah mengatakan bahwa “The Prince is a handbook for gangsters”. Tetapi penulis terkenal pemenang hadiah Pulitzer, Jared Diamond, ketika ditanya dalam wawancara dengan The New York Times, buku apa yang seharusnya dibaca oleh Presiden Barack Obama, jawabnya: “The Prince karya dari Machiavelli.”

Sebaliknya, banyak penulis atau peneliti yang lebih mengeksplor The Prince mengatakan bahwa apa yang ditulis oleh Machiavelli bukan sepenuhnya ingin menganjurkan apa yang kini dicap oleh Russel sebagai “a handbook for gangsters”. Machiavelli menulis itu dalam konsep demokrasi abad 16 yang sangat berbeda dengan demokrasi liberal yang berkembang saat ini. Mungkin Machiavelli hanya ingin menjadi seorang realis, bahwa untuk bisa efektif memerintah, seorang pangeran mempunyai banyak pilihan, sehingga cara-cara yang sekarang dianggap kotor, tabu atau tidak senonoh, pada waktu itu diperlukan oleh penguasa untuk menguatkan suatu pemerintahan, dan pada gilirannya mampu menata kestabilan dan meningkatkan kesejahteraan.

Dalam zaman yang lebih modern, konsep-konsep realis dan kekuasaan dari Machiavelli muncul kembali dalam doktrin fasisme dari Giovanni Gentile, dan diterapkan oleh penguasa fasis Italia, Benito Mussolini, tetapi yang yang dihancurkan bersamaan dengan runtuhnya fasisme setelah perang dunia ke-2. Sebelum dan sesudah itu, banyak cara-cara yang sama kita kenal juga dalam sejarah. Dari catatan sejarah maupun cerita-cerita tradisional, seperti sejarah dinasti-dinasti di China, kerajaan-kerajaan di Jawa, dan juga tempat-tempat lain, apa yang digagas Machiavelli bukan merupakan gagasan atau cara baru untuk berkuasa dan melanggengkannya. Yang paling dekat dengan kita tentunya praktik politik di zaman Orde Baru, yang sedikit banyak juga mengadopsi cara-cara “the ends justify the means”.

Tags:

Berita Terkait