Catatan dan Pelajaran Penting dari Putusan Sengketa Pilpres 2024
Melek Pemilu 2024

Catatan dan Pelajaran Penting dari Putusan Sengketa Pilpres 2024

Masyarakat sipil dan akademisi harus melakukan konsolidasi secara lebih kompak dan solid untuk mengawal pemilu dan demokrasi.

Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit
Guru Besar FH Unpad Prof Susi Dwi Harijanti; Guru Besar FH UGM Prof Sigiit Riyanto; dan Akademisi FH UI Titi Anggraini. Foto Kolase: Istimewa
Guru Besar FH Unpad Prof Susi Dwi Harijanti; Guru Besar FH UGM Prof Sigiit Riyanto; dan Akademisi FH UI Titi Anggraini. Foto Kolase: Istimewa

Berakhir sudah perjalanan panjang pasangan Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar setelah terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.1/PHPU.PRES-XXII/2024 dan pasangan Ganjar Pranowo-Prof Mahfud MD melalui Putusan MK No.2/PHPU.PRES-XXII/2024 yang permohonannya ditolak seluruhnya. Tentunya, putusan itu menuai berbagai respons masyarakat termasuk kalangan akademisi hukum. Lantas, pelajaran apa saja yang dapat dipetik dari putusan sengketa Pilpres 2024?

“Salah satu kekecewaan saya dalam putusan ini (semoga tidak terjadi lagi ke depannya) itu bagaimana hakim konstitusi menafsirkan nepotisme. Seakan-akan nepotisme menjadi hal yang biasa dalam pengisian jabatan,” ungkap Guru Besar FH Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof Susi Dwi Harijanti kepada Hukumonline, Selasa (23/4/2024).

Baca Juga:

Menurutnya, pengisian jabatan dengan menggunakan nepotisme jelas sangat berbahaya bagi sebuah bangsa. Ia mempertanyakan bukti yang “bagaimana lagi” diinginkan hakim konstitusi untuk dapat menyatakan terbukti terjadinya nepotisme. Padahal terdapat benang merah yang bisa saja ditarik ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat secara terang-terangan menyatakan dirinya berhak berkampanye dengan merujuk pada Pasal 299 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. 

Dari kacamata Prof. Susi, penafsiran pasal tersebut sebagai dasar untuk condong “berkampanye” bagi salah satu paslon dalam kontestasi pemilu merupakan penafsiran yang salah. Menurutnya, pasal tersebut digunakan bagi seorang petahana yang berkeinginan untuk mencalonkan diri kembali dan hendak melakukan kampanye, bukan untuk calon lainnya. Keterbatasan sumber hukum bagi para hakim konstitusi dalam memutus perkara ini menjadi hal yang amat disayangkan Prof. Susi.

“Jadi pelajaran untuk Pilkada karena itu masuk dalam rezim pemilu, pengisian jabatan Kepala Daerah. Karena itu, asas-asas pemilu, Pilpres, berlaku juga mutatis mutandis kepada Pilkada. Ini adalah pelajaran penting bagi kita untuk Pilkada. Jangan sampai nepotisme, PJ-PJ (Penjabat Kepala Daerah) ini menggunakan wewenangnya memberikan preferensi pada calon-calon tertentu. Ini perlu diperhatikan untuk Pilkada nanti,” pesannya.

Konsolidasi kompak dan solid

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) Prof. Sigit Riyanto mengamati selama 5 tahun belakangan ini rezim Presiden Jokowi terbilang sangat dominan. “Mereka yang sekarang keberatan dengan hasil Pemilu itu adalah mereka yang mendukung rezim Presiden Jokowi. Kenapa? Karena mereka bagian dari pemerintah. Selama 5 tahun itu suara-suara kritis tidak ada dari mereka. Bahkan mereka (sebelumnya, red) ikut jadi bagian dari rezim, yang saat ini melontarkan suara-suara kritis seperti dari kalangan akademisi dan masyarakat sipil,” bebernya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait