Intimidasi yang Dialami Tempo, Ancaman Nyata Terhadap Kebebasan Berekspresi
Berita

Intimidasi yang Dialami Tempo, Ancaman Nyata Terhadap Kebebasan Berekspresi

​​​​​​​Menuntut Kapolri untuk melakukan perlindungan hukum kepada pers dan media.

M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Koalisi Masyarakat Sipil saat konferensi pers di Jakarta, Rabu (21/3). Foto: DAN
Koalisi Masyarakat Sipil saat konferensi pers di Jakarta, Rabu (21/3). Foto: DAN

Persekusi dan intimidasi dalam bentuk demonstrasi yang dilakukan oleh massa Front Pembela Islam (FPI) akhir pekan lalu terhadap Redaksi Majalah  Tempo telah menimbulkan keprihatinan banyak pihak. Kali ini Koalisi Masyarakat Sipil yang tediri atas LBH Pers, Kontras, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, dan Safenet ikut bersuara. Menurut mereka, peristiwa ini menunjukkan lemahnya perlindungan hukum terhadap kebebasan berekspresi.

 

Bila hal ini dibiarkan, Koalisi khawatir, akan muncul organisasi lain yang melakukan tindakan serupa. “Kami memandang persekusi dan intimidasi ini, bukan hanya sebagai ancaman kepada majalah Tempo, tetapi juga merupakan ancaman nyata kepada semua media di Indonesia,” ujar Direktur Eksekutif LBH Pers, Nawawi Bahrudin di Jakarta, Rabu (21/3).

 

Menurut Nawawi, apa yang dilakukan oleh Tempo adalah sebuah kegiatan jurnalistik yang dilindungi oleh UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Pasal 28F UUD 1945. Ia menilai, Tempo telah menjalankan fungsi pers yakni sebagai lembaga kontrol yang menjunjung tingi nilai-nilai dasar demokrasi.

 

“Juga mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia serta menghormati kebhinekaan,” terang Nawawi.

 

Nawawi menuturkan, jika salah satu pihak atau kelompok tertentu keberatan dan merasa dirugikan dengan sebuah karya jurnalistik, mekanismenya adalah menempuh jalur sengketa jurnalistik. Mekanisme yang dimaksud yakni dengan memberikan hak jawab atau hak koreksi sebagaimana dalam pasal 4 UU Pers.

 

Selain itu, pihak yang merasa dirugikan bisa mengadukan media atau karya jurnalistik dimaksud kepada Dewan Pers. “Karena Dewan Pers lah yang berhak menilai dan memiliki kewenangan menilai apakah sebuah karya jurnalistik tersebut telah melanggar kode etik jurnalistik atau tidak,” ujar Ketua Umum AJI Indonesia, Abdul Manan di tempat yang sama.

 

Manan menyayangkan masih adanya masyarakat yang menggunakan pendekatan intimidasi dalam menyelesaikan sengketa pers. Menurutnya, AJI berkepentingan untuk mencegah agar tindakan serupa tidak terjadi kembali. Karena itu ia mengingatkan agar tindakan yang dilakukan oleh FPI tidak menjadi model percontohan oleh yang lainnya.

Tags:

Berita Terkait