Pemerintah Berharap Pengesahan RUU KUHP Sebagai Resultante Demokratis
Utama

Pemerintah Berharap Pengesahan RUU KUHP Sebagai Resultante Demokratis

KUHP yang digunakan selama ini dinilai sebagian memuat ketidakpastian karena pemerintah tidak pernah menetapkan mana terjemahan KUHP yang resmi. Menkopolhukam mempersilakan jika nantinya ada pihak yang masih tidak setuju ada mekanisme MK dan legislative review.

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit

Lebih pada sosialisasi searah

Namun, sejumlah gelaran diskusi publik RUU KUHP di berbagai daerah, seperti justru dikritik Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Misalnya, sosialisasi yang terakhir Diskusi Publik RUU KUHP digelar di Hotel JS Luwansa Jakarta, Senin (14/6/2021). Aliansi menilai gelaran diskusi publik RUU KUHP di Jakarta ini menampilkan sejumlah narasumber yang kurang berimbang, sehingga kurang mencerminkan semua pemangku kepentingan.

Misalnya, menampilkan dua keynote speech yakni Wamenkumham Prof Eddy Omar Sharif Hiariej dan Menkopolhukam Prof M. Mahfud MD. Sejumlah narasumber yakni Anggota Komisi III DPR Mulfachri Harahap; Kabalitbang Hukum dan HAM Sri Puguh Budi Utami; Tim Ahli Pembaruan RUU KUHP Surastini Fitriasih; Guru Besar Hukum Pidana UI Prof Topo Santoso; Guru Besar Hukum Pidana UGM Prof Marcus Priyo Gunarto; Guru Besar Hukum Pidana UI Prof Harkristuti Harkrisnowo; Guru Besar Hukum Pidana UI Prof Indriyanto Seno Adji.       

Ada sejumlah catatan terkait diskusi publik RUU KUHP dengan dalih sosialisasi di berbagai daerah tersebut itu. Pertama, Aliansi tidak melihat ada perubahan dari susunan pembicara. Pemerintah tetap tidak melibatkan baik dari masyarakat sipil ataupun akademisi dari bidang ilmu dan perspektif berbeda untuk memberikan masukan pada RKUHP dengan porsi yang berimbang dengan narasumber dari Pemerintah dan DPR.

“Acara diskusi ini lebih pada sosialisasi searah daripada diskusi substansi yang lebih genting untuk dilakukan agar RKUHP tidak lagi mendapatkan penolakan dari masyarakat,” ujar salah satu Anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP dari PBHI, Julius Ibrani kepada Hukumonline, Senin (14/6/2021). (Baca Juga: Pasal-Pasal ‘Pembunuh’ Demokrasi dalam RKUHP)

Aliansi Nasional Reformasi KUHP terdiri dari ICJR, ELSAM, AJI, LBH Pers, Imparsial, KontraS, ICW, HuMA, PBHI, LeIP, LBH Jakarta, PKBI, PSHK, Arus Pelangi, HRWG, YLBHI, SEJUK, LBH APIK, LBH Masyarakat, MaPPI FHUI, CDS, ILR, ICEL, Rumah Cemara, WALHI, Jatam, YPHA, Ecpat Indonesia, ILRC, Epistema Institute, Yayasan Kesehatan Perempuan, Aliansi Satu Visi, PKNI, PUSKAPA, AMAN Indonesia, AMAN Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, JKP3, OPSI, Pusat Kajian Gender dan Seks UI, Institut Perempuan, Lintas Feminis Jakarta, Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia, Pusham UII, OHANA, SEHATI Sukoharjo, Green Peace Indonesia, SAFEnet, IJRS, Pamflet.

Julius mengakui beberapa anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP memang diundang dalam sosialisasi 14 Juni 2021 di Jakarta itu. Namun, porsi masukan hanya dialokasikan 1 jam. Itu pun di sesi tanya jawab, tidak seimbang dengan pemaparan substansi yang melibatkan 6 pembicara dari tim perumus pemerintah dan DPR dengan alokasi waktu selama 3 jam lebih.

“Hal lain, tidak semua kalangan masyarakat sipil yang berpotensi terdampak diundang oleh Pemerintah, seperti dari kelompok penyandang disabilitas, kelompok advokasi kesehatan reproduksi, kelompok rentan, dan lain sebagainya,” kata Julius.

Kedua, ketidakjelasan proses dan draf RKUHP yang akan dibahas. Sebab, baik pemerintah dan DPR tidak memberikan kejelasan/ketegasan apakah draf yang diedarkan pada acara sosialisasi RKUHP di Manado (Sosialisasi ke-11 sebelum Jakarta) merupakan draf terbaru atau hanya sosialisasi draf lama yang ditolak masyarakat pada September 2019.

“Apabila ini adalah draf terbaru, Aliansi tidak melihat adanya perubahan sedikitpun dalam draf tersebut, draf yang diedarkan masih merupakan draf versi September 2019 yang ditolak oleh masyarakat."

Tags:

Berita Terkait