Pasal-Pasal ‘Pembunuh’ Demokrasi dalam RKUHP
Utama

Pasal-Pasal ‘Pembunuh’ Demokrasi dalam RKUHP

Berbagai pasal pelarangan terhadap hak kebebasan berpendapat dan berekspresi masyarakat tertuang dalam RKUHP menunjukan Indonesia tak lagi dapat disebut negara demokrasi.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Sejumlah narasumber dalam webinar bertajuk 'Rancangan KUHP dan Pasal-Pasal pembunuh Demokrasi', Kamis (10/6/2021). Foto: RFQ
Sejumlah narasumber dalam webinar bertajuk 'Rancangan KUHP dan Pasal-Pasal pembunuh Demokrasi', Kamis (10/6/2021). Foto: RFQ

“Ibarat truk menanjak. Tapi kemudian dia mundur. Kalau tidak ditahan akan terperosok ke jurang”. Begitulah mengibaratkan kondisi demokrasi Indonesia di tengah situasi kebebasan berpendapat dan berekspresi yang semakin terkungkung melalui rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Bahkan, kondisi demokrasi di Indonesia seolah bakal mengarah ke era otoritarianisme, seperti zaman Orde Baru.

“Kita sudah di bibir jurang, kalau tidak ditahan akan masuk ke era otoritarian,” ujar Direktur Center for Media and Democracy Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto dalam webinar bertajuk “Rancangan KUHP dan Pasal-Pasal pembunuh Demokrasi”, Kamis (10/6/2021). (Baca Juga: Delik Aduan, Pasal Penghinaan Presiden Tak Boleh Multitafsir)

Dia mengingatkan Indonesia dikenal sebagai negara hukum yang demokratis yang telah teruji sejak reformasi. Namun seiring pergantian kepemimpinan, demokrasi yang berjalan saat ini malah mengalami kemunduran dan terlihat hendak kembali ke era Orde Baru. Indikasinya, hak kebebasan berpendapat, berekspresi, berpikir, dan berdialektika malah diberangus. Kondisi ini diperparah dengan materi muatan draf RKUHP yang terdapat pasal-pasal “pembunuh” demokrasi.

“Harapan memiliki KUHP yang berciri khas kenusantaraan dan meninggalkan warisan kolonial malah mengembalikan tradisi aturan Belanda. Situasinya seperti ‘kuburan’ bagi kebebasan masyarakat sipil. Memprihatinkan produk kolonial digunakan untuk mendisiplinkan jajahannya. Namun saat ini dipakai untuk warganya yang sudah merdeka,” kritiknya.

Dia melihat penyebabnya muncul pasal-pasal bernuansa kolonial itu akibat situasi politik dan kemunduran demokrasi. Selain RKUHP, hal terjadi saat revisi UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK dan Rancangan Undang-Undang tentang Cipta kerja yang menjadi sinyal kuat merosotnya demokrasi dimana gelombang gerakan masyarakat sipil yang menentang disahkannya 2 UU itu tidak digubris. Hal ini menunjukan oligarki partai terus menguat.

“Sayang demokrasi mengalami kemunduran, oleh pemimpin yang terpilih secara demokratis, yang malah memunggungi demokrasi. Itu yang terjadi saat ini. Kita tidak heran dan sangat menyayangkan materi RKUHP itu. Karena UU ini jelas akan memberangus kebebasan masyarakat sipil,” katanya.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menilai RKUHP yang disusun sengaja bakal membatasi protes masyarakat sipil terhadap pemerintah. Alih-alih mereformasi hukum pidana nasional, norma pasal yang disusun dalam RKUHP malah menjadi monumen kolonial di Indonesia.

Tags:

Berita Terkait