Revisi UU Penyiaran Berpotensi Timbulkan Multi Tafsir Hingga Halangi Kebebasan Pers
Terbaru

Revisi UU Penyiaran Berpotensi Timbulkan Multi Tafsir Hingga Halangi Kebebasan Pers

Terdapat perluasan cakupan wilayah penyiaran dari media konvensional seperti TV dan radio, menjadi penyiaran digital. Alhasil, latform digital layanan over the top (OTT) atau tv streaming seperti Netflix dan platform lainnya harus tunduk pada UU Penyiaran yang baru.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

DPR terus mematangkan pembahasan revisi UU No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Namun dikhawatirkan nasib RUU tentang Penyiaran malah berpotensi mengekang hak publik dalam mengakses konten penyiaran yang beragam. Karenanya dibutuhkan pendalaman lebih jauh.

Direktur Eksekutif Remotivi, Yovantra Arief berpanangan, dalam draf RUU yang diperoleh pada 2 Oktober 2023 lalu terdapat perluasan cakupan wilayah penyiaran dari media konvensional seperti TV dan radio, menjadi penyiaran digital. Dengan begitu, platform digital layanan over the top (OTT) atau tv streaming seperti Netflix, Amazon Prime, Vidio, dan platform lainnya harus tunduk pada UU Penyiaran yang baru.

Malahan diatur oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Yovantra menegaskan perubahan ini dinilai mengancam kebebasan pers penyiaran dan kreativitas di ruang digital. Selain itu, pengaturan secara luas tersebut menimbulkan permasalahan karena terdapat perbedaan karakteristik media dan teknologi.

“Memasukkan platform digital dalam definisi penyiaran membuat konten digital harus patuh pada aturan-aturan yang sama dengan aturan TV konvensional, padahal medium dan teknologinya berbeda. Ini tidak tepat karena platform digital memiliki logika teknologi yang berbeda dengan TV atau radio terestrial,” ujar Yovantra di Jakarta, Rabu (24/4/2024).

Baca juga:

Menurutnya, salah satu yang menjadi perhatian dalam draf RUU Penyiaran yaitu ketentuan Pasal 56 ayat (2) yang berisi larangan atas berbagai jenis konten penyiaran, baik konvensional maupun digital. Larangan-larangan ini mencakup tayangan terkait narkoba, perjudian, rokok, alkohol, kekerasan, atau unsur mistik. Beberapa jenis konten yang dilarang pun dinilai multi-interpretasi, sehingga rentan untuk digunakan secara semena-mena.

“Larangan-larangan ini berpotensi mengekang hak publik untuk mendapat konten yang beragam. Padahal di platform digital publik memiliki agensi lebih besar untuk memilih dan menyaring tontonan, berbeda dengan penyiaran konvensional,” imbuhnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait