Salah satu jawaban atas masalah perlindungan hukum itu adalah gugatan derivatif (derivative action). Gagasan tentang pentingnya gugatan derivatif itu datang dari Taqiyuddin Kadir. Corporate Legal Counsel untuk perusahaan-perusahaan AkzoNobel di Indonesia ini berhasil mempertahankan disertasinya di hadapan Senat Guru Besar Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Jayabaya, Kamis 12 Juni lalu.
Taqiyuddin meraih cum laude untuk disertasi ‘Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Saham Minoritas Melalui Derivative Action (Gugatan Derivatif) Menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas di Indonesia’.
Mengapa tindakan derivatif dibutuhkan? Menurut pria kelahiran 12 Juli 1959 itu, keadilan dan keseimbangan antara hak-hak atau kepentingan para pemegang saham di perusahaan tetap diperlukan dalam rangka tata kelola perusahaan yang baik. Termasuk keadilan dan keseimbangan kepentingan pemegang saham mayoritas dan minoritas. Pengambilan suara terbanyak dalam RUPS berpotensi merugikan pemegang saham minoritas. Padahal, keputusan perusahaan harus dilandasi pertimbangan yang memadai, termasuk melindungi pemegang saham minoritas.
Tindakan derivatif bisa menjadi mekanisme perlindungan. Tindakan derivatif, jelas Taqiyuddin, memberikan hak kepada pemegang saham minoritas untuk mengambil tindakan luar biasa melalui pengadilan, agar hak-hak perusahaan dapat dipulihkan, atau tidak dirugikan. Tindakan derivatif terutama dapat dipicu oleh dugaan penyimpangan manajerial perusahaan (managerial misconduct). Misalnya, menggunakan dana perusahaan untuk kepentingan pribadi, atau membayar kompensasi berlebihan (excessive compensation) kepada direksi dan staf. Bisa juga terjadi dalam akuisisi, dimana manajemen membayar lebih besar daripada nilai pasar.
Dosen Universitas Fakultas Hukum Universitas 45 dan Universitas Muslim Indonesia Makassar (1986-1997) itu berpendapat pengajuan gugatan derivatif sangat krusial mengingat direksi memiliki kewenangan sekaligus tanggung jawab yang bersifat sentral dalam perusahaan. Gugatan derivatif memberikan manfaat dan tujuan praktis baik untuk akuntabilitas manajerial, maupun sebagai sarana kompensasi bagi perusahaan dan wahana penyelesaian konflik internal perusahaan.
Masalahnya, tindakan derivatif sebagai mekanisme perlindungan hukum di Indonesia belum memadai. Ini disebabkan minimnya pengaturan mengenai tindakan derivatif di Indonesia dibandingkan negara-negara Common Law, bahkan dengan negara Civil Law. Pasal 97 ayat (6) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) memang sudah mencerminkan konsep derivative action. Tetapi belum diatur syarat dan mekanisme pengajuan gugatannya ke pengadilan.
Revisi UU Perseroan Terbatas menjadi rekomendasi ke depan. Tetapi yang tak kalah penting adalah memberikan mekanisme yang jelas bagi hakim untuk menilai apakah suatu gugatan derivatif layak atau tidak. “Perlu ada mekanisme penilaian oleh pengadilan tentang layak tidaknya suatu gugatan derivatif diajukan atau dilanjutkan,” saran Taqiyuddin.