Sengketa Mazhab Hukum: Mengenal Pragmatisme Brian Tamanaha
Bedah Buku:

Sengketa Mazhab Hukum: Mengenal Pragmatisme Brian Tamanaha

Brian menyimpulkan cara pandang aliran realis terhadap aliran formalism hukum salah kaprah.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Sengketa Mazhab Hukum: Mengenal Pragmatisme Brian Tamanaha
Hukumonline

Dalam khasanah dunia pemikiran, ketegangan antara tesis dan antithesis merupakan satu hal yang lumrah. Demikian juga dalam dunia pemikiran hukum. Ketegangan aliran pemikiran hukum seringkali kita temukan dalam cabang filsafat hukum. Untungnya, sejak zaman pra-sokratik-era filsafat kuno sebelum kemunculan Sokrates, siklus ketegangan antara aliran pemikiran selalu melahirkan pemikiran alternatif atau jalan ketiga.

Hal inilah yang bisa kita lihat dari corak pemikiran pragmatise Brian Z. Tamanaha. Brian mencoba untuk menjembatani ketegangan antara aliran realism hukum dan formalisme hukum. Aliran realisme yang tidak menyetujui adanya preseden dalam putusan seorang hakim, tidak menggunakan sumber hukum secara formil dalam memutus sebuah kasus. Aliran realisme hukum menggunakan basis prilaku individu dalam relasi sosialnya untuk menghakimi  tindakan seseorang.

Pragmatisme Brian hadir dan seolah-olah mengatakan “sudahlah, gak usah pusing. Yang penting manfaatnya apa?” ujar Muji Kartika Rahayu, penulis buku Sengketa Mazhab Hukum dalam kesempatan diskusi bedah buku tersebut, (16/3).

(Baca juga: Meraba Payung Hukum untuk Tren Ekonomi Digital).

Brian sendiri sebenarnya bukanlah orang yang pertama kali mencetuskan teori mengenai pragmatisme. Karena akar teori pragamtisme bersumberdari upaya manusia menakar kebenaran secara konsep. Kebenaran menurut teori pragmatisme adalah suatu yang dapat berlaku. Pragmatisme memandang kebenaran diukur dari kegunaan, dapat dikerjakan, serta pengaruhnya yang memuaskan. Teori ini mengacu pada sejauh manakah sesuatu itu berfungsi dalam kehidupan manusia.

Dalam merumuskan pragmatismenya, Brian melewati beberapa proses. Terlahir di Kepulauan Mikronesia, Brian menemukan wajah hukum yang berbeda antara hukum Amerika Serikat yang berlaku di Mikronesia dengan budaya hukum masyarakat setempat. “Kalau ada masalah masyarakat (Mikronesia) cenderung musyawarah untuk mufakat. Tapi hukum pidananya (berlaku) tidak demikian, harus menang kalah,” terang Muji Kartika.

Menurut perempuan yang kerap disapa Kantiini, dari kesadaranitu Brian kemudian melanjutkan pendidikan ke Harvard University. Berangkat dari asumsi awal bahwa perdebatan di ranah teori tidak mampu menyelesaikan problem-problem nyata, selama di Harvard, Brian semakin dalam masuk ke pusaran perdebatan teori hukum.

Ia memetakan perdebatan di Amerika Serikat pada periode 1920-an. Pertanyaan praktisnya adalah, bagaimana hakim dalam memutus perkara? Ada pandangan yang menyatakan bahwa sejak tahun 1920, semua ahli dan praktisi hukum di Amerika menganut aliran realisme. Namun kemudianada yang membantah. Dikatakanbahwa, jika mengamati baik-baik putusan pengadilan, sebenarnya sebelum tahun 1920 pun sudah ada putusan-putusan hakim yang realis. Tentu saja di tengah maraknya ahli dan praktisi aliran formalis.

Tags:

Berita Terkait